Pages

Monday, September 24, 2012

GAMBIR SAWIT


GAMBIR SAWIT
Gending Kethuk 2 Kerep Minggah 4 Laras Slendro Pathet Sanga :
Sebuah Analisis Tekstual

1. Pendahuluan/Pengantar
            Sebagai orang yang berlatar belakang berbeda dalam menganalisis gending-gending  karawitan Jawa, sudah tentu mengalami berbagai kendala dalam mengungkap dan membedah objek yang dimaksud. Hambatan dan kendala tersebut tentunya lebih banyak  mengenai penafsiran istilah-istilah karawitan Jawa itu sendiri. Walaupun istilah-istilah tersebut sudah ada dalam bentuk tulisan, namun karena kurangnya pengalaman memainkan dan “bergaul” dengan gending Jawa, tentu tulisan ini jauh dari baik. Kami berusaha mencari tahu istilah tersebut, setidaknya dapat kami mengerti dengan cara pandang kami sendiri, yang berkaitan dengan judul di atas.
            Kami sengaja mencari objek yang lebih “menantang” untuk bisa menyelami karawitan Jawa lebih dari sekedar tahu(pernah mendengar). Memasuki dunia karawitan Jawa yang begitu luas, kami berusaha mencari tahu istilah mendasar yang berkaitan dengan judul di atas. Walaupun sebagian kata-katanya sudah akrab di telinga kami, namun sebelum berbicara lebih jauh, sekiranya istilah-istilah tersebut masih perlu  dicantumkan dalam tulisan ini. Bagi teman-teman yang berlatar belakang Jawa mungkin saja istilah-istilah ini sudah mubasir dan tidak perlu diulas kembali. Akan tetapi bagi yang berlatar belakang non Jawa kemungkinan besar istilah-istilah ini menjadi sekerlip cahaya dalam kegelapan. Pengertian istilah berikut ini hanya merupakan ringkasan dari buku Konsep Pathet Dalam Karawitan Jawa karya Bapak Sri Hastanto, dan mengadakan silang pendapat dengan mewawancarai beberapa teman baik dosen maupun mahasiswa karawitan.
2. Pengertian Istilah
            a) Gending
                                    Dalam Karawitan gending merupakan salah satu istilah yang sangat penting. Istilah ini untuk memberi nama lagu-lagu yang disajikan baik instrumental maupun vokal. Berdasarkan bentuknya gending dapat digolongkan dalam keluarga gending ageng, gending alit dan gending pamijen. Istilah gending ini merujuk pada pengertian sebuah lagu, sedangkan alit (yang berarti kecil), ageng (besar), dan pamijen ( tidak seperti biasanya),  merujuk pada bentuknya. Jadi gending dalam golongan diatas dalam penyajiannya  dapat diidentipikasi melalui bentuknya.
                                    Pengelompokan lain mengenai gending adalah merujuk pada ricikan pokok, seperti gending rebab, gending gambang, gending gender, gending bonang. Rujukan pada ricikan tersebut karena ricikan ini adalah yang melakukan buka sebagai awal dari penyajian gending. Juga ada pengelompokan gending berdasarkan fungsi seperti gending Pakurmatan yaitu fungsi gending yang digunakan dalam sebuah upacara, untuk menghormati salah satu mata acara dalam upacara itu.
            Gending klenengan, merupakan jenis gending yang merujuk pada sebuah peristiwa karawitan yang mana gending-gending yang disajikan khusus untuk didengarkan. Dalam acara  klenengan biasanya ditampilkan gending baik yang berbentuk gending alit maupun yang berbentuk gending ageng. Keluarga besar gending lainnya adalah gending wayangan dan gending beksan. Gending wayangan merupakan peristiwa karawitan yaitu pertunjukan wayang kulit purwa, madya, maupun wayang gedog. Gending beksan merupakan gending yang disajikan untuk gending-gending tari.
          b) Kethuk 2 Kerep Minggah 4
                        Bentuk gending yang menggunakan istilah kethuk kerep dan minggah merupakan bentuk gending tergolong dalam keluarga gending ageng. Gending ageng ini memiliki ukuran lagu lebih panjang dari gending alit seperti gending ketawang maupun ladrang yang mempunyai pukulan atau sabetan delapan atau dua gatra. Gending ageng  memiliki 16 sabetan atau empat gatra dan kelipatannya. Ditandai dengan sebutan “kethuk kerep” dan “kethuk arang”. Kerep berarti kerap /rapat dan arang berarti jarang. Sebagai tipikal tabuhan kerep adalah tabuhan kethuk diletakan pada sabetan ke empat di akhir frase ( baik frase padhang maupun ulihang). Jika terdapat dalam satu kalimat lagu hanya dibutuhkan sepasang frase padhang dan ulihang, dengan demikian terdapat dua kali pukulan ricikan kethuk maka bentuk gendingnya adalah gending kethuk 2 kerep. Konsep ini kalau disejajarkan dengan konsep tabuhan dalam karawitan Bali, sama dengan kerangka balungan pada jenis tabuh lelambatan yang mana terdapat 16 pukulan tungguhan penyacah atau empat frase dalam satu kalimat lagu yang ditandai dengan jatuhnya pukulan jegog atau kenong (jawa). Bentuk kerep dan bentuk arang dalam karawitan Jawa disebut dengan merong. Biasanya tidak dapat berdiri sendiri. Kebiaannya mereka harus disajikan dengan bentuk kelanjutannya yang di sebut dengan inggah/minggah. Ada merong yang mempunyai minggah sendiri dan ada pula inggah-nya meminjam. Melodi merong selalu tersusun  dengan menggunakan jenis balungan mlaku sedangkan inggah gending kebanyakan menggunakan jenis balungan nibani. Di dalam inggah tidak terdapat istilah kerep dan arang, karena jarak tabuhan kethuk di semua jenis inggah berjarak sama.
c) Laras Slendro Pathet Sanga
Dalam dunia karawitan istilah laras memang tidak asing lagi. laras yaitu sistem pengaturan frekwensi dan interval nada-nada. Dalam sebuah laras terdapat beberapa nada. Kalau lima nada di sebut sistem lima nada dan kalau tujuh nada disebut sistem tujuh nada.  Secara umum ada dua laras yang digunakan yaitu laras pelog dan laras slendro. Masing-masing laras ini memiliki karakter yang berbeda. Untuk mendukung suasana gending yang di bawakan masing-masing laras terdapat beberapa pathet. Dalam laras pelog terdapat pathet limo, pathet nem, pathet, barang. Dalam laras slendro terdapat  tiga pathet yaitu pathet nem, pathet sanga dan pathet mayura.  Pathet sanga yang menjadi bahasan dalam judul diatas memiliki teba atau wilayah nada yang lebih besar. Sehingga gending yang disajikan dalam pahtet ini, memiliki nuansa yang lebih agung dan wingit.
3. Deskripsi Objek
            Gending Gambir Sawit termasuk kedalam jenis gending ageng. Mengingat bentuk dan strukturnya yang memilki frase lebih dari delapan dalam satu gongan. Melihat dari bentuk penyajiannya gending Gambir Sawit sering disajikan pada acara klenengan, dengan nuansa tenang, hening dan wingit. Kalau dilihat dari ricikan yang melakukan buka gending ini dimulai dengan rebab. Artinya secara melodi ricikan rebab mempunyai peran yang sangat penting dalam memimpin jalannya gending. Pada saat rebab melakukan srenggengan (sajian melodi pendek tabuhan ricikan rebab sendirian untuk mengkonsilidasikan atau memantapkan rasa pathet kepada semua pemabuh, agar dalam menyajikan gending rasa pathet mereka sudah mapan), saat ini semua perhatian penabuh tertuju kepada rebab. Sebab setelah rasa pathet sudah terkonsolidasi oleh sajian srenggengan tadi, Ia akan segera melakukan buka dan semua ricikan harus menyambut buka tersebut secara bersama-sama. Kendatipun rebab memimpin melodi gending, namun dalam hal tempo, dinamika, dan irama, tetap dikendalikan oleh kendang. Gending Gambir Sawit dalam klenengan ini termasuk klenengan lengkap, karena ditinjau dari iramanya memakai semua irama yang ada. Yaitu irama tanggung, irama dadi, irama wilet dan irama rangkep.
a)    Perangkat Gamelan
Dalam menyajikan gending Gambir Sawit, menggunakan perangkat gamelan ageng. Dalam satu kesatuan perangkat gamelan ageng terdiri dari dua kelompok. Satu kelompok berlaras pelog dan satu lagi berlaras slendro. Setiap kelompok tadi dalam karawitan Jawa disebut dengan Pangkon. Jadi dalam menyajikan gending Gambir Sawit memakai gamelan ageng pangkon slendro lengkap. Adapun ricikan-nya adalah ; rebab plonthang, gender barung, gender penerus, bonang barung, bonang penerus, slenthem, demung, saron barung, saron penerus, gambang,  clempung, siter, kenong, kempul, kethuk kempyang, engkuk (kemong dua pencon), sepasang kemanak, suling, gong suwukan, gong ageng, seperangkat kendang. Gending Gambir Sawit tidak hanya dimainkan dalam gemelan pangkon slendro pathet sanga, terkadang juga dimainkan dalam pangkon pelog pathet nem. Dimainkanya dalam pelog nem gending Gambir Sawit kurang memiliki gereget. Karena dalam pelog nem terkesan lebih girang dan riang. Hal ini tentu tidak sesuai dengan esensi gending yang diinginkan. Namun dalam slendro pathet sanga-lah kecocokan rasa didapat dengan nuansa hening, agung  dan wingit.
b) Bentuk dan Struktur
            Telah disebutkan di atas bahwa gending Gambir sawit termasuk dalam gending ageng yang dapat diidentipikasi salah satunya melalui penulisannya. Penulisan kata “gending” mempunyai pengertian sempit bahwa gending tersebut memiliki bentuk  dan ukuran panjang yang ditandai dengan sabetan balungan dan ricikan struktural (kethuk kerep 2 minggah 4) seperti ricikan kethuk-kempyang, kenong, kempul dan gong,  dengan struktur terdiri dari buka, merong, umpak inggah dan inggah. Masing-masing bagian tersebut memiliki pola tabuhan atau pola garap dengan memperhatikan irama yang di sajikan. Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai bentuk dan struktur gending Gambir Sawit dapat dilihat memalui notasi melodi balungan di bawah ini.
Notasi
buka
                                t      . 6 1 2  
    . 2 . 2     . 1 2 1     3 2 1 2      . 1 6 g5

     ir. Tanggung
  [ . e t w     . 3 5 6     2 2 . .      2 3 2 n1
                                      masuk irama dadi
    . . 3 2     . 1 2 6     2 2 . .      2 3 2 n1
    . . 3 2     . 1 6 5     . . 5 6      1 6 5 n6<umpak
    2 2 . 3     5 6 2 1     3 5 3 2      . 1 6 g5]
Ngelik
    6 6 . .     6 6 . .     2 2 . .      2 3 2 n1
    . . 3 2     . 1 2 6     2 2 . .      2 3 2 n1
    . . 3 2     . 1 5 6     . . 5 6      1 6 5 n3
    2 2 . 3     5 6 2 1     3 5 3 2      . 1 6 g5

Umpak Inggah
    >.  2 .     1 . 6 .     5 . 2 .      3 . 3 .   n2
          ir. Dadi                                             kendang ciblon
    . 3 . 5     . 2 . 1     . 2 . 1      . 6 . g5

Minggah
     [ . 6 . 5     . 1 . 6     . 1 . 6      . 2 . n1
    . 2 . 1     . 2 . 6     . 1 . 6      . 2 . n1

                     irama wilet+ ir. dadi mau suwuk.
    . 2 . 1     . 6 . 5     . 1 . 6      . 2 . n1
    . 6 . 5     . 2 . 1     . 2 . 1      . 6 . g5  ]

NB. Notasi gerongan di bagian lampiran.

Dengan memperhatikan notasi di atas, dapat diketahui bahwa gending Gambir Sawit memiliki buka terdiri dari lima frase, sebelum akhirnya menuju merong yang ditandai dengan jatuhnya gong. Merong-nya (kethuk 2 kerep) terdiri dari 16 sabetan atau empat frase dalam satu kenong, dan 64 sabetan atau 16 frase  dalam satu gongan. Bagian ini merupakan ajang garap yang halus dan tenang. Setelah berlangsung selama satu kali putaran merong, dilanjutkan ke bagian ngelik. Ngelik merupakan bagian lagu yang tidak pokok, tetapi wajib dilalui. Artinya dalam penyajian gending, ngelik boleh ada boleh tidak dikarenakan oleh desakan waktu atau hal lain. Setelah ngelik gendhing kembali ke merong. Struktur berikutnya adalah ke bagian inggah. Pergantian merong ke inggah, dijembatani oleh umpak, yang dikomandoi oleh tabuhan kendang pada menjelang kenong ke-tiga. Model transisi atau “jembatan” ini lazim disebut dengan umpak inggah yang ditandai dengan tabuhan kendang khusus, serta mengkomandoi dengan manaikan tempo sedikit lebih cepat dari pada merong.
Bagian berikutnya adalah bagian inggah. Gending Gambir Sawit memiliki inggah tersendiri, dengan kata lain inggahnya merupakan kelanjutan dari pada merong. Hanya saja sesuai dengan hukum/norma yang berlaku, balungan inggah ini memakai jenis balungan nibani. dalam inggah ini terjadi dua kali andeg yaitu perberhentian sementara menjelang kenong. Kemudian dilanjutkan oleh sinden menuju melodi berikutnya.  Andeg dilakukan pada menjelang kenong pertama dan menjelang kenong ke-dua dalam irama rangkep. Selain andeg juga diwarnai dengan perubahan irama. Satu gongan pertama memakai  irama wilet, masuk gongan ke-dua irama berubah menjadi irama rangkep. Irama rangkep hanya terjadi dua kali kenongan, setelah itu kembali ke irama wilet, sebelum akhirnya menuju suwuk, Pada pertengahan melodi menuju kenong ke tiga dalam gongan putaran yang ke-tiga. Dalam perbagai perubahan irama ini, kendang yang berfungsi sebagai pemurba irama, memiliki peran yang sangat penting dalam mengkoordinasikan perubahan.  Sehingga terjadi kesatuan rasa yang harmonis.
c) Garap
            Beberapa pakar karawitan Jawa menyatakan bahwa dalam penggarapan gendhing, pengrawit diberikan kebebasan untuk menterjemahkan, memberi makna, serta menafsirkan garap sesuai dengan rasa estetik musikalnya. Hal ini juga didukung oleh pernyataan Rahayu Supanggah menyatakan bahwa karawitan bersifat fleksible dan multi interpretable. Artinya para pemain ricikan terutama ricikan garap bebas menafsirkan kemungkinan-kemungkinan garap sebuah gendhing. Hal ini kemungkinan ‘salah’ atau ‘benar’ tidak terjadi. Yang terjadi hanyalah penak dan ora kepenak atau munggah dan ora munggah. Ricikan-ricikan yang melakukan interpretasi tersebut antara lain ; rebab, gender, kendang,dan bonang. Dalam gending Gambir Sawit menurut pengamatan dan rasa musikal kami, peranan rebab dan sinden sangat dominan dalam melakukan cengkokan. Dengan tuntunan rebab, pesinden mampu membuat cengkokan mengalun sangat indah. Hal ini juga didukung oleh pola tabuhan gender dengan pola tabuhannya mampu membuat cengkokan yang enak didengar. Ricikan gambang dan siter bertugas memainkan tempo dan membuat pola tabuhan mengisi ruang-ruang balungan dengan lincah dan enerjik. Tak kalah penting adalah ricikan bonang dengan teknik permainan atau pola tabuhan imbal dan sekaran memberikan warna garap sangat kaya. Kendang dalam hal ini selain sebagai pemurba irama, juga membuat variasi pukulan terutama dalam permainan kendang ciblon yang masuk menjelang inggah. Selain ricikan-ricikan tadi peranan gerong juga tak kalah pentingnya. Selain melantumkan syair-syair gerongan, juga melakukan senggaan dan keplokan untuk meramaikan dan mendukung suasana. Sistem garap inilah letak estetika, keunikan gending ini, yang didukung oleh  keahlian para pemain ricikaan garap dalam menafsirkan balungan gending dengan variasi-variasi cengkokan-nya. Sehingga para penikmat hanyut dalam keasyikan menikmati cengkok dan tabuhan. Mungkin tidak hanya penikmat yang hanyut dalam menikmati gendhing, melainkan pemain juga hanyut dalam menikmati tabuhan-nya sendiri.
4. Tunjauan Sejarah dan Pengrawit.
            Gending gambir sawit diciptakan pada tahun 1820 pada pemerintahan Kanjeng Sesuhunan Pakubuwono Kaping V. Keraton dalam hal ini sebagai pusat kebudayaan memiliki peran yang sangat penting dalam pembinaan dan pengembangan seni khususnya seni karawitan. Seluruh ciptaan seni hanya dipersembahkan untuk raja. Walaupun gending-gending itu secara de facto di ciptakan oleh seniman yang hidup pada waktu itu, namun karena kekuasaan dan sifat feodalis keraton,  secara de jure gending itu hanya boleh diakui oleh sang raja. Hal ini menjadi tidak jelas siapa orang yang sebenarna menciptakan gending ini.  Apakah raja atau kah abdi dalemnya. Tapi mengingat dalil yang telah dikemukakan  di atas, raja yang berkuasa lah menjadi pencipta segala seni yang muncul pada saat pemerintahannya. Selain gending Gambir Sawit pada pemerintahan P.B. V ini banyak sekali gending-gending lain yang muncul, diantaranya:  Kembang Gayam, Rarawudhu, Raranangis, Randha Nunut, Montro, Lobong dan lain sebagainya.
            Mengenai pengrawit yang menyajikan gending Gambir Sawit ini, kami tidak mendapatkan informasi secukupnya. Karena gending ini berupa rekaman audio berupa CD yang kami ambil dari perpustakaan Jurusan Karawitan ISI Surakarta. Melihat dari lebelnya kemungkinan besar gending ini disajikan oleh pengrawit dari para dosen dan mahasiswa STSI Surakarta. Berdasarkan pengalaman musikal kami, secara audio gending ini dibawakan sangat baik; kesatuan rasa, teknik tabuhannya dan suara gamelannya. Sebagai orang yang berlatar belakang berbeda, kami belum bisa membedakan secara pasti dan detail rasa dan teknik tabuhan antara pengrawit alami dengan pengrawit yang berlatar belakang alami plus akademik. Juga dalam hal gaya personal, kelompok,  maupun regional.
5. Penutup
            Dengan uraian yang telah dikemukakan diatas, telah memberikan gambaran yang cukup, Tentang gending gambir sawit. (Setidaknya bagi kami yang berlatar belakang yang berbeda). Walaupun hanya secuil dari pengetahuan karawitan jawa yang sangat luas. Kami yakin tulisan ini jauh dari lumayan, namun untuk memenuhi tugas analisis karya I ini, sekiranya dapat sebagai tonggak untuk mengetahui karawitan Jawa lebih jauh.
DAFTAR PUSTAKA
Hastanto, Sri. 2009. Konsep Pathet Dalam Karawitan Jawa. Surakarta : Program pascasarjana bekerja sama dengan ISI Press.

Supanggah, Rahayu. 2009. Bhotekan Karawitan II : GARAP. Surakarta : Program Pascasarjana bekerja sama dengan ISI Press.

Martopangrawit. 1968. Pengetahuan Karawitan I 

Wawancara
I Ketut Saba
Yeni Arama
Saryanto
Agus Prasetyo





Lampiran.
GERONGAN GENDHING GAMBIR SAWIT

Merong
    . . 2 2   . . j23 2 . . 2 2   j.1  1 j23  1
                   pu-na-            pa- ta              mirah    -           ing   -       sun
    . . . .   3 3 j35 2 . . 2 1   j.6  2 j321 x6x
                                 prihatin-was  -        pa gung                 mi                   jil
    .1 2 . . 5 5 j.6 1 . 2 j165 j56  j165  j23 2 1
                                 suhu   da-hat           tan- pa                   kar -   ya
    . . . .   3 3 j35 2 . . 6 !   j.@ j61  6 5
                                 sengkang rine    -    mekan               gus    -     ti
    . . . .   5 5 j.5 6 . !j  j!2 6 j.1  5    .    x3x
                                 gelung ri-nu   -        sak se    -           kar    -     ya
          . 2 . .   5 5 j.6 ! . @ j!65 56 j165 j23  2 1
                                 sumawur gam    -    bir     me  -            la        -           thi
Ngelik
          . . @ @   . .j  @# @  . . @   @ .! ! j@# !
        u-pa              ma – tyas         -    se ma      -         ngun -  kung
          . . . .   6 6 j.6 ! @ . @ !   j.6 @ j#@! x6x
                                mulat-ing   si   -        ra dyah             a      -       ri
    jx.x12   . . @ @   jx@x# @  . .  @ @    j.!  !    j@#  !
                                 sayek-ti  me   -        lu ma    -           nga    -    rang
    . . . .   6 j6! j!@ @ . . j!6 ! j.2  j6!6 5
                                 te las - sing ri  -        ris          gu    -   man -       ti
          . . . .   5 5 j.5  6    . !   j!@  6     j.1 5 . x3x
                                 ing kang     terang -      ga-      na                        su  -  nyar
          . 2 5 .   5 5 j.6  !    . @   j!65 j56 j!65 23 2 1
                                 remeg de –ning            sa -   lah                       kap -    ti

Catatan :
Dua gatra balungan menjelang gong, baik pada merong maupun pada ngelik tidak di gerongi. Melainkan sindenan dan cakepannya sebagai berikut: gambir sawit mawur-mawur.
Bagian Inggah irama wilet
. . ! !   . . j!@ 6   ! . @ @   . j6@ ! j!6
          marman -       ta           ma     -     ngrurah         ge          lung
    . . j56!    .@ j6! 5 3   . . 5 5   j6! 5 k6j53 2
        lintang   -     nge      me    -    rang ni      -    ngal   -     i
    . . . .   6 6 j.6!  5   6 j!@j@# ! j.@ j6! 6 5
                            mringla-ngening           kiswan   -        ni  -      ra
    . . . .   @ @ j@! 6   ! @ k!j65j56 k1j65 j23 2 1
            miwah ki   dang               ki-   dang         I  -     sin
    . . 2 2   . . j@# @   . . @ @   j.! ! j@# !
                   miyar     -        sa  -  ing            swara       -        ni  -      ra
    . . 6 6   . . 6  !   . @ !6  ! .@  6!6 g5
                   siki         -        dang um     -        pet- an            te  -    bih



           
           

LEMAYUNG


TABUH KREASI PEPANGGULAN GAMELAN SMARANDHANA
“ LEMAYUNG”

1. Pendahuluan
Lemayung adalah sebuah komposisi karawitan Bali yang menggunakan gamelan Smarandhana sebagai media ungkap. Komposisi ini berbentuk  tabuh kreasi pepanggulan. Sebelum membicarakan Tabuh kreasi pepanggulan, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu apa itu tabuh kreasi. Tabuh kreasi adalah komposisi karawitan Bali yang diaransir baru, kendatipun unsur–unsur materi tradisinya  masih sangat menonjol, yang dikreasikan adalah unsur–unsur musik yang melekat didalamnya seperti isi, teknik permainan, tempo, dinamika dan lain-lain. Sedangkan pepanggulan berasal dari kata panggul yang artinya alat untuk memukul gamelan. mendapat awalan pe- dan akhiran –an menjadikan kata “pepanggulan”.  Kata ini dalam karawitan Bali berarti menabuh memakai panggul yang lebih menekankan kepada tungguhan kendang.
Sebagai perbandingannya seperti adanya  Tabuh Kreasi Kekebyaran  dan Tabuh Kreasi Lelambatan. Tabuh Kreasi Kekebyaran yaitu komposisi karawitan yang bentuk dan unsurnya diaransemen baru yang diilhami oleh pola-pola kekebyaran dan tentu saja  menggunakan Gong Kebyar sebagai media ungkap. Sedangkan Lelambatan Kreasi adalah komposisi karawitan yang mengkreasikan atau mengaransemen bentuk dan unsur- unsur tabuh lelambatan klasik sehingga nampak baru. Penggunaan tungguhan kendang dan trompong sangat menentukan jenis komposisi yang dimainkan. Tabuh Kreasi Kekebyaran menggunakan kendang gupekan (kendang yang dipukul dengan tangan) dan tidak menggunakan tungguhan trompong. Walaupun tungguhan ini digunakan dalam menyajikan tabuh kreasi, hal ini hanyalah sebagai kebutuhan estetis dan bukan berfungsi sebagaimana halnya dalam tabuh lelambatan selaku tungguhan penandan gending yang membawakan melodi. Dalam Tabuh Lelambatan kendang yang digunakan adalah kendang cedugan yaitu kendang yang ukurannya lebih besar dan menggunakan panggul untuk membunyikannya, dan tentu saja menggunakan tungguhan trompong yang  kehadirannya mencirikan  bahwa tabuh yang dimainkan adalah Tabuh Lelambatan.
Tabuh Kreasi Pepanggulan boleh dikatakan  mengadopsi atau diilhami oleh kedua jenis komposisi diatas.  Yang dimaksudkan mengadopsi disini adalah Tabuh Kreasi Pepanggulan menggunakan seluruh tungguhan yang ada dalam barungan Gong Kebyar termasuk trompong, kendang cedugan, bebende dan kempli, yang mana tungguhan ini merupakan tungguhan penentu dalam memainkan gending-gending lelambatan. Akan tetapi Tidak menggunakan bentuk, struktur, dan hukum-hukum lelambatan.   Sedangkan pengadopsian dari Tabuh Kekebyaran terletak pada motif pukulan instrumen garap seperti gangsa, kendang, dan reyong. Jadi Tabuh Kreasi Pepanggulan adalah komposisi karawitan yang menggunakan kaedah-kaidah lelambatan dan kaedah-kaidah kekebyaran dalam penggarapannya. Adapun pementasannya dalam ajang Festival Gong Kebyar, Tabuh Kreasi Pepanggulan digunakan untuk mengganti nomer Tabuh Lelambatan Kreasi. Di dilihat dari pola garap dan penyajiannya Tabuh Kreasi Pepanggulan lebih cendrung mengarah ke lelambatan.
2. Gamelan Semarandhana
Gamelan Smarandhana adalah sebuah barungan gamelan Bali yang dibuat pada tahun 1988 oleh seorang empu karawitan Bali yaitu I Wayan Berata. Pembuatan gamelan ini merupakan keberlanjutan dari Gamelan Genta Pinara Pitu yang mengabungkan antara gamelan Gong Kebyar yang merupakan gamelan berlaras pelog lima nada  dan gamelan Semar Pegulingan yang berlaras pelog tujuh nada. Secara tungguhan gamelan ini sama dengan gamelan Gong Kebyar. Hanya saja masing-masing tungguhan kelompok gangsa, reyong dan trompong (tungguhan melodik) mendapat dua tambahan nada pada angkep (oktaf) ke-dua sehingga urutan nada gangsa  terdiri dari   4 (dong), 5 (deng), 7(dung), 1(dang) 3(ding), 4(dong),  5(deng), 6(deung), 7(dung), 1(dang), 2(daing), 3(ding).
            Smarandhana berasal dari dua kata yaitu Smara dan Dhana. Smara berarti “ suara” dan Dhana berarti “ Kaya” jadi Smarandhana berarti kaya dengan suara. Dua belas bilah yang terdiri dari tujuh nada dengan wilayah nada yang lebih luas  memungkinkan untuk mengolah melodi dalam berbagai patutan (patet). Menurut I Wayan Berata, (dalam Tenzer, 2007 : 30) seorang komponis dan pelaras gamelan mencatat berbagai patutan berhubungan dengan tujuh nada sebagai berikut. Dipadatkan dalam satu oktaf:
1. patutan Selisir                     urutan nadanya 123 56
2. Patutan Selendro gede       urutan nadanya   234 67
3. Patutan Baro                       urutan nadanya 1 345 7
4. Patutan Tembung               urutan nadanya 12 456
5. Patutan Sunaren                 urutan nadanya   23 567
6. Patutan Pengnter alit          urutan nadanya 1 34 67
7. Patutan Pengenter              urutan nadanya 12 45 7
8. Patutan Lebeng                   urutan nadanya 1234567
Penamaan patutan di atas terutama patutan selisir, baro, tembung, sunaren dan lebeng diambil dari atau digunakan dalam reportuar gambuh/ semar pegulingan. Selain patutan ini tidak diakui secara luas di masyrakat, namun dengan intennya penggunaan gamelan smarandhana dan kreativitas seniman dalam penggarapan musiknya, istilah patutan ini mulai  dikenal dan diterima oleh masyrakat yang memiliki perangkat gamelan smarandhana seperti Sanggar Cudamani, Sanggar Smara Ratih dan beberapa Sekaa-sekaa[1] lainnya. Secara sederhana patutan yang paling sering dimainkan adalah patutan  selisir,  patutan tembung, dan Patutan sundaren.  Kalau dibandingkan dengan gamelan Jawa patutan selisir dapat disejajarkan dengan patet nem, patutan tembung dengan patet limo, sedangkan patutan sundaren dengan patet barang.
Gamelan Smarandhana yang  tergolong dalam gamelan berlaras pelog tujuh nada dapat juga menghasilkan “nuansa” slendro[2] sehingga sangat kaya akan suasana yang ditimbulkan. Gamelan ini sangat potensial untuk berkreativitas sebagai musik tari, teater maupun membawakan sajian intrumental. Keunggulan lainnya adalah gamelan ini sangat pleksibel yang dapat memainkan reportuar dari jenis gamelan yang berbeda. Seperti, gamelan gong kebyar, gamelan gong gede, gamelan semar pegulingan, dan lain-lain.
3. Ide Tabuh Kreasi Pepanggulan “Lemayung”
Tabuh kreasi Pepanggulan Lemayung diciptakan oleh Dewa Putu Berata seorang komposer karawitan jebolan STSI (ISI) Denpasar. Menurut Dewa Brata yang berhasil  diwawancarai via face book, karena Dewa Brata saat itu sedang berada di Amerika Serikat memimpin rombongan Cudamani[3], sanggar seni miliknya  sedang mengadakan pementasan  di Amerika Serikat.  Tabuh ini diciptakan pada saat situasi Pemilihan Umum pada tahun 2004. Ide karya ini muncul mana kala partai-partai peserta pemilu mengombral janji-janji politiknya untuk menarik simpati  rakyat untuk kepentingan sesaat.  Rakyat menjadi sangat bingung dalam menentukan pilihan sehingga muncul kata “ Lemayung” yang berarti perasaan yang tak menentu. Hal ini diterjemahkan dengan rakyat kecil adalah ritma lemah dan penguasa dengan ritma yang kuat apa bila diaduk-aduk dan diatur akan menghasilkan keindahan dalam perbedaan. sari-sari keindahan dalam perbedaan itu   belum tentu bisa ditangkap oleh semua golongan yang dalam hal ini adalah rakyat. Hal ini akan semakin membuat ketidakpastian menjadi nyata apabila para penguasa besar dengan janji-janji politiknya seolah-olah merayu merebut simpati rakyat dengan menghembuskan “angin” penggolongan untuk tujuan sesaat. Tetapi bagi orang yang memiliki kejelian dan keteguhan iman tidak akan tergoyahkan dan tetap menjaga keutuhan, kerukunan dan kebersamaan. Janji-janji tersebut diterjemahkan dalam bahasa karawitan hanyalah sebagai pemanis belaka dan secara tidak sadar mereka telah menebar kebohongan yang akan sulit dimaafkan nantinya. Jadi janji haruslah ditepati.
4. Deskrepsi-Analisis
Sebagai komposisi karawitan Bali, Tabuh Kreasi Lemayung tetap menggunakan tiga konsep dasar yaitu konsep Tri Angga[4] (kepala, badan, dan kaki) Kepala dalam hal ini karawitan Bali disamakan dengan kawitan dalam bentuk gineman[5]. Tabuh kreasi Lemayung ini menggunakan model gineman dengan motif kalimat-kalimat lagu pendek yang dibawakan oleh masing-masing kelompok tungguhan yakni gangsa, reyong, kendang secara bergantian.  Disini pola tabuhan-nya sudah mulai keluar dari kebiasaan seperti terlihat pada pola kekendangan, pengrangrang trompong[6], dan gegenderan[7]. Yang dimaksudkan dengan keluar dari kebiasaan adalah, jalinan pola kekendangan-nya memakai hitungan ganjil, menggantung dan putus pada  tengah-tengah hitungan. Pola kekendangan ini bagi pengendang yang mempunyai ketrampilan dan pengalaman terbatas akan terasa sangat sulit.  Pengrangrang trompong memakai dua model patet dan di tengah-tengah permainan diselingi oleh permainan gangsa dan reyong yang permainan reyong-nya diluar kebiasaan yakni memainkan reyong secara berundag-undang atau model stratapikasi dari nada tinggi ke rendah bergulung gulung seperti ombak di pantai. Pada segmen kedua permainan gineman trompong berganti patet bernuansa slendro dan memasukan instrumen violin yang alunan melodinya terkesan sangat sedih dan menyayat hati. Melodi ini juga dirangkai dengan memadukan pukulan nyogcag oleh tungguhan kantil yang menggambarkan kesedihan masyrakat “cilik”. Pada pola gegenderan memakai kotekan tungguhan gangsa dengan pembagian lima hitung pada satu pukulan kajar yang bisanya atau lazimnya dalam satu ketukan, kotekan-nya dibagi menjadi empat sub divisi.  Selain gangsa, reyong turut bermain dengan pola yang tidak lazim pula yaitu disamping memakai pola hitungan lima, reyong dibunyikan dengan memukul dan menutup secara bersamaan sehingga menghasilkan suara enek atau suara yang tidak los.
            Selanjutnya dari bagian satu menuju kebagian dua dijembatani dengan sebuah kebyar[8] pendek sebagai pertanda pergantian struktur dari kawitan ke  bagian pengawak.  Bagian pengawak, tabuh ini bermain dalam pebedaan tempo dan hitungan pada tungguhan pembawa melodi dengan tungguhan garap yakni reyong dan gangsa. Dibentuk dengan kalimat lagu yang terdiri dari empat baris dalam satu gongan memakai patutan selisir. Setiap barisnya dilakukan penonjolan-penonjolan kolompok tungguhan secara bergantian. Perbedaan yang selaras ini mengasilkan harmoni  yang enak didengar dan dinamika yang dinamis  dengan penonjolan masing-masing kelompok tungguhan tadi. Permainan ini mengingatkan kita pada situasi pemilu yang masing –masing kelompak masyarakat saling berlomba mencari dukungan menonjolkan diri. Sehingga kelompok-kelompok masyarakat netral bingung dalam menentukan pilihan. Untuk mencari pengulangannya diselingi dengan satu kalimat lagu yang melodi dan ritmanya lebih lincah dan menggugah yang lazim disebut dengan pengelik. Bagian ini terjadi perpindahan patutan dari selisir ke patutan tembung. Pada tungguhan reyong dan gangsa dalam memainkan tabuhannya memanfaatkan nada-nada pemero untuk memperkaya ornamentasi dalam memainkan kotekan.  Bagian kedua ini diulangi dua kali putaran dan langsung menuju ke bagian ke tiga.
Bagian ke tiga yaitu bagian kaki atau dalam istilah karawitan Bali disebut dengan pengecet atau pekaad. Transisi ke bagian ini kembali dilakukan kebyar pendek dan dilanjutkan dengan kotekan gangsa sebelum benar-benar melakukan bagian pengecet. Pada bagian ini berbentuk gilak[9]  dengan bermacam-macam modulasi yang mendapat variasi tabuhan gangsa, reyong dan kendang yang dikombinasikan sedemikian rupa sehingga nampak suasana yang lebih bingar dan gembira.  Pola tabuhannya lebih lincah dan  bermain pada tempo yang lebih cepat. Selain dibentuk dengan  gilak, pengecet ini juga diselingan dengan pola gegenderan seperti yang terdapat dalam kawitan atau gineman, tetapi dalam patutan dan melodi yang berbeda. Kotekan dengan hitungan ganjil yaitu lima berbanding satu juga mewarnai pola gegenderan ini. Hitungan kontras, dan penonjolan masing-masing kelompok tungguhan seperti gangsa, reyong, dan kendang, terus menghiasi bagian ini. Sebelum menuju bagian akhir, rangkaian motif oncang-oncangan yang dikombinasikan dengan pola angsel[10] reyong dan kendang menghantarkan komposisi ini ke melodi penutup dengan mengutif satu kalimat lagu pada bagian kawitan.
5. kreativitas dan Pembaharuan
dalam berkreativitas untuk mewujudkan karya seni kreasi baru, yang menjadi kata kunci adalah dimanakah letak pembaharuan dalam karya seni tersebut? Dalam karya tabuh kreasi pepanggulan Lemayung ini dalam dilihat pembaharuannya antara lain:
1)      Penggunaan barungan gamelan Smarandhana. Sebelumnya tabuh-tabuh pepanggulan yang sejenis hanya menggunakan barungan gamelan Gong Kebyar dengan kaidah-kaidah kekebyarannya. Menggunakan barungan gamelan Smarandhana dengan “kekayaannya” memungkinkan untuk berkreativitas mengeksplorasi unsur-unsur musik yang yang melekat dalam gamelan tersebut.
2)      Masuknya instrumen musik barat yaitu violin. Dibutuhkan kejelian dan keberanian dalam penggunaan instrumen-instrumen non gamelan supaya kehadirannya pas dengan kebutuhan musikal dan tidak  terasa “menggangu”.
3)      Memakai sistem kotekan diluar kelaziman yaitu, dalam memainkan kotekan biasanya menggunakan pembagian atau sub divisi satu berbanding empat. Akan tetapi di sini digunakan sub divisi satu berbanding lima. Perbaduan genap dan ganjil disini dalam penggarapan dibutuhkan kejelian dan kreativitas yang tinggi, dan tentunya sebagai penyajinya dibutuhkan pemain-pemain gamelan yang trampil dan berpengalaman.
4)      Ritma, banyak ditemukan ritma-ritma baru baik berupa angsel-angsel yang dilakukan oleh reyong, ceng-ceng maupun kendang yang dipadukan dengan permainan gangsa yang memanfaatkan warna dan tinggi rendahnya nada.
5)      Kendang sebagai tungguhan yang penting dalam karawitan Bali banyak memainkan pola jalinan atau kekendangan diluar kebiasaan. Hal ini dibutuhkan kreativitas yang tinggi dalam mencipta dan ketrampilan yang yang tinggi dalam menyajikannya.
6. Notasi
            dalam mengnotasi reporatuar gamelan laras pelog tujuh nada kami menemukan kesulitan apabila terjadi modulasi ( perpindahan pathet di tengah tengah melodi) terkait dengan penggunaan huruf Bali sebagai simbul bunyi nada. Apalagi ditambah dengan tingkat kerumitan komposisi yang disajikan, sehingga  Pengnotasian karawitan Bali hanya bersifat deskripsi (notasi dengan pokok pokok nadanya saja) dan tidak bisa mewakili sebuah teks komposisi secara utuh. Pengnotasian seperti ini sering dan hanya berlaku untuk mencatat gending-gending lelambatan klasik yang pola garapnya sederhana. Dalam penggarapan musik-musik yang lain, notasi hanya digunakan oleh komposer untuk mengingat apa yang dibuatnya sebelum dituangkan kepada musisi. Hal ini lebih bersifat sketsa yang membutuhkan penggarapan lebih lanjut.
Dalam mengnotasi  tabuh lelambatan  pepanggulan Lemayung ini kami gunakan notasi karawitan Bali yang disebut dengan Notasi Ding-Dong dengan segala “keterbatasannya”. Dalam menganalisis gending memang dibutuhkan notasi untuk menunjukan keberadaan musik sebagai teks visualisasi. Namun karena keterbatasan waktu dan kemampuan, Pencatatan ini hanya untuk mengetahui struktur dan bentuk dari komposisinya saja, dan tentu  tidak mewakili teks reportuar secara keseluruhan. Dalam penulisan patutan, nada pertama dalam urutan tiga nada adalah nada ding dengan simbul 3 , seperti terlihat dalam tabel.
Patutan
Urutan nada
1
2
3
4
5
6
7
P. Lebeng
3
4
5
6
7
1
2
P. Selisir
3
4
5
-
7
1
-
P. tembung
7
1
_
3
4
5
_
P. Sunaren
_
7
1
_
3
4
5
P. Baro
1
_
3
4
5
_
7

            Notasi Tabuh Pepanggulan Lemayung.
Kawitan
Gangsa + Reyong
j17  j171
j1j73 1     j13 j713    j17                    j13 j71 j.1 j.1 3
j13 j.1 3 7 j57  j.1 3 j.1 3  7 5 ...     j.7 5
j55 j75 j43 1  j55 j45 j71 j71 j75 j45 g3
jalinan kekendangan
gangsa patutan tembung
7  1 7 1 5 7 5 3 1... 7 5 ......7 1 7 1 j34 j53 4 3 1 /5 5 3 =4  5 4 5 j65 j43 2 2 3 4 j75 3 2  j71 3 5  j31 5 7 j217 3 5 7 j54 g3
pengrangrang trompong
43...... 3 . ...3....3…3 333 4 5 6 5 6 4 5 6 5 6 . . .j757. . .5
5....5....            5.... 5.. 5..5. 5...j.4 3....3....3....3..3
3..3.3....5  7  5            7 5 757575 j77... j.7 5
reyong
j.7  j15 j75 j43 1      j75 j43 j17 j31 j75 j17 j54 j75 j43 j54 j31 j75
j75 j43 j17 j31 j75 j17 j54 j75 j43 j54 j31 j75
trompong
j.75....5....5....5.... j757...5...7...5..7..5..7.5.j757
....j757...n5
gangsa
7./77 /7 71 j.3 4     j34 j34 j13 4          j34 j31 /3   j45  j1 3  j17 j13 j17 j1 g3...
trompong
j.31 4 3
kelompok gangsa
3 4 3 4 j72 j75 j71 3 4 3  j13 j157 j12  j717  34   71 j24 j217 5 1 37 j345 1 7 5 g4
kebyar
 /j44 j34 j53 4 j11 j43 j13 j71 j31 7           j66 j45 j34 5          j66 j34 j53 4. . . .
p. Baro
7....5...j.7 j13 j431 7. . . .3 . 5 j354. . . j45 j4317 g1
Biola
1  3 4 5 7 1 n5...   7 4 5 3 1 4 n5... 7 1 4 3   5 7 .5 4 3    1 7 . j54 5 74.. 34 . 34 . j71 j34 5 .  4 .g3
trompong
7 1 3 4 3 1 3 j.77713 . 5 j35 4
kebyar
4 5  . 3 /3 3   /j5j53 5  j73 j.7  j.3 j457   1 /j175 7  . 3 /4 j43 1 3
7 3 7 1  . 3 j33 3  j5j53 5 j531  j5 j7 15  j71 j5 7 4 57
gegenderan
 [..131. 57 . 134 . 31 . 7 . 57457. 3.41. 57]
 [...157...157...157...157]
kebyar
7 . 1 3 7 1 3 4 .  7 5 7 5 4 3 1 j713  j13 j17 j17 j54 3  5  3 7 5   5 3 j537
1 7 3 1 7 4 . j57 j17 g5
pengawak/bagian ke II
1  7   5   .   1  7   7 1  . . .7  1  7  5   7 j45 j31 7
   . . 4574 ..7.13.  45 .  1745   6456  .  4  .   g3
pengelik (patutan tembung)
.j.3  .1  . j. 5 .7. j.4 .5 j.3 .7 1 .. 3 j45  j.7 j.4  3 . j61 j.7  5 . g3
Kebyar ke Bagian III(Pengecet)patutan selisir
g3.. j141  j.1  j515. j.7 j45 g7
Gilak pemalpal
[1 3 1 7 1 3 7 1 7 5 45 7 5 4 5 g7]
                        <          6713.1.7
gegenderan (patutan Tembung)
[. 1 . 3 1 . 5 7 . 1. 3 4 . 3 1 . 7 . 5 7 4 5 7 . 5 . 4 1 . 5 g7]
patutan baro
[7571. 34134. 7171571. 75175]
3 1 /1 1 3 .4 3 /3 3 4. 3.4. 1 3 1 7 5
7. .7. . .777. . . .12 43
[1 7 2 1  j75 j.57  j17 j671 7 j46 j.43 35 j64 j34 6 4 3  j64 6 j46 4 5 3 1 7]
[7 1 3 1 7 5 7 616417]
j17 j17 g1
Keterangan tanda:
3 = ding, 4 = dong, 5 = deng, 6 = deung, 7 = dung, 1 = dang,
2 = daing
[] tanda pengulangan
g     = jatuhnya pukulan gong
< transisi


DAFTAR ACUAN

Tenzer, Michael. 2000. Gamelan Gong Kebyar : Seni Musik Bali Abad ke- Duapuluh.
Diterjemahkan oleh Janet & Joko Purwanto. Universitas Of Chicago. Edisi
 Spesial : Masyrakat Seni Pertunjukan Indonesia

Sukerta, Pande made. 2009. Ensiklopedi Karawitan Bali . Edisi kedua. Solo : ISI
            Press



[1] Perkumpulan atau organisasi, terutama yang berpusat di banjar-banjar diaman keanggotaannya bersifat sukarela
[2] Patutan selendro gede untuk menunjukan nuansa gender wayang (gamelan untuk musik wayang berlaras slendro lima nada) dan ada dua lagi masing-masing dengan empat nada yaitu selendro alit ( 3457) untuk menunjukan interval selendro dalam wilayah nada tinggi dalam gamelan angklung dan satu lagi jegog (2357), karena menimbulkan skala unik untuk menunjukan nuansa gamelan jegog (gamelan yang terbuat dari bambu berkembang di daerah Bali barat).
[3] Nama sanggar seni/grup kesenian yang sangat unggul dan menggunakan gamelan Smarandhana sebagai media untuk membawakan materi pementasannya.
[4] Tiga bagian tubuh manusia yaitu kepala, badan, kaki. Dalam  konsep struktur komposisi karawitan Bali, tiga bagian tubuh manusia tersebut dapat di disejajarkan dengan kawitan, pengawak, dan pengecet/pekaad,atau  bagian satu, dua dan tiga (awal, tengan, dan akhir)
[5] Sebagai sebuah bentuk introdaksi dari sebuah komposisi.
[6] Pola permainan melodi yang temponya tidak ajeg  dilakukan oleh trompong diikuti oleh suling, rebab, dan jegog memberikan aksentuasi.
[7] nama dari salah satu bagian bentuk gending menyajikan rangkaian melodi yang dibawakan oleh tungguhan jublag, jegog, suling dan rebab. Tungguhan gangsa, kantil dan reyong memberikan variasi kotekan. Bagian ini dalam tabuh kreasi kekebyaran dipakai sebagai wadah untuk menunjukan kemampuan komposer dalam menyusun melodi dan membuat variasi kotekan serta penabuh dalam menunjukan teknih tabuhan-nya.
[8] Pola tabuhan secara bersama-sama dan serentak,   menghentak dengan tiba-tiba, tanpa menggunakan hitungan. Dilakukan oleh hampir seluruh tungguhan yang ada kecuali suling, rebab, kenong, kempur dan trompong.
[9] Rangkaian melodi yang terdiri dari delapan ketukan dalam satu gongan. Tungguhan pesu-mulih yaitu kempur terletak pada hitungan ke lima dan ke tujuh, kempli terletak pada hitungan  ke dua, empat, enam,dan ke delapan.
[10] Pola tabuhan  dengan hentakan-hentakan ritma dengan artikulasi  yang kuat, ditandai dan dikoordinasikan oleh kendang dilakukan bersama-sama dengan reyong dan ceng-ceng.