GAMBIR SAWIT
Gending Kethuk
2 Kerep Minggah 4 Laras Slendro Pathet Sanga :
Sebuah Analisis Tekstual
1. Pendahuluan/Pengantar
Sebagai
orang yang berlatar belakang berbeda dalam menganalisis gending-gending karawitan Jawa, sudah tentu mengalami
berbagai kendala dalam mengungkap dan membedah objek yang dimaksud. Hambatan
dan kendala tersebut tentunya lebih banyak
mengenai penafsiran istilah-istilah karawitan Jawa itu sendiri. Walaupun
istilah-istilah tersebut sudah ada dalam bentuk tulisan, namun karena kurangnya
pengalaman memainkan dan “bergaul” dengan gending Jawa, tentu tulisan ini jauh
dari baik. Kami berusaha mencari tahu istilah tersebut, setidaknya dapat kami
mengerti dengan cara pandang kami sendiri, yang berkaitan dengan judul di atas.
Kami sengaja mencari objek yang
lebih “menantang” untuk bisa menyelami karawitan Jawa lebih dari sekedar
tahu(pernah mendengar). Memasuki dunia karawitan Jawa yang begitu luas, kami
berusaha mencari tahu istilah mendasar yang berkaitan dengan judul di atas.
Walaupun sebagian kata-katanya sudah akrab di telinga kami, namun sebelum
berbicara lebih jauh, sekiranya istilah-istilah tersebut masih perlu dicantumkan dalam tulisan ini. Bagi
teman-teman yang berlatar belakang Jawa mungkin saja istilah-istilah ini sudah
mubasir dan tidak perlu diulas kembali. Akan tetapi bagi yang berlatar belakang
non Jawa kemungkinan besar istilah-istilah ini menjadi sekerlip cahaya dalam
kegelapan. Pengertian istilah berikut ini hanya merupakan ringkasan dari buku
Konsep Pathet Dalam Karawitan Jawa karya Bapak Sri Hastanto, dan mengadakan
silang pendapat dengan mewawancarai beberapa teman baik dosen maupun mahasiswa
karawitan.
2. Pengertian Istilah
a)
Gending
Dalam
Karawitan gending merupakan salah satu istilah yang sangat penting. Istilah ini
untuk memberi nama lagu-lagu yang disajikan baik instrumental maupun vokal.
Berdasarkan bentuknya gending dapat digolongkan dalam keluarga gending ageng, gending alit dan gending pamijen.
Istilah gending ini merujuk pada pengertian sebuah lagu, sedangkan alit (yang berarti kecil), ageng (besar), dan pamijen ( tidak seperti biasanya),
merujuk pada bentuknya. Jadi gending dalam golongan diatas dalam
penyajiannya dapat diidentipikasi
melalui bentuknya.
Pengelompokan
lain mengenai gending adalah merujuk pada ricikan pokok, seperti gending rebab,
gending gambang, gending gender, gending bonang. Rujukan pada ricikan tersebut
karena ricikan ini adalah yang melakukan buka
sebagai awal dari penyajian gending. Juga ada pengelompokan gending berdasarkan
fungsi seperti gending Pakurmatan
yaitu fungsi gending yang digunakan dalam sebuah upacara, untuk menghormati
salah satu mata acara dalam upacara itu.
Gending klenengan, merupakan jenis
gending yang merujuk pada sebuah peristiwa karawitan yang mana gending-gending
yang disajikan khusus untuk didengarkan. Dalam acara klenengan biasanya ditampilkan gending baik
yang berbentuk gending alit maupun yang berbentuk gending ageng. Keluarga besar
gending lainnya adalah gending wayangan
dan gending beksan. Gending wayangan
merupakan peristiwa karawitan yaitu pertunjukan wayang kulit purwa, madya, maupun wayang gedog. Gending beksan merupakan gending
yang disajikan untuk gending-gending tari.
b) Kethuk
2 Kerep Minggah 4
Bentuk
gending yang menggunakan istilah kethuk
kerep dan minggah merupakan
bentuk gending tergolong dalam keluarga gending ageng. Gending ageng ini
memiliki ukuran lagu lebih panjang dari gending alit seperti gending ketawang maupun ladrang yang mempunyai pukulan
atau sabetan delapan atau dua gatra. Gending ageng memiliki 16 sabetan atau empat gatra dan kelipatannya. Ditandai dengan sebutan “kethuk kerep” dan “kethuk arang”. Kerep berarti
kerap /rapat dan arang berarti jarang. Sebagai tipikal tabuhan kerep adalah tabuhan kethuk diletakan pada sabetan ke empat di akhir frase ( baik
frase padhang maupun ulihang). Jika terdapat dalam satu
kalimat lagu hanya dibutuhkan sepasang frase padhang dan ulihang,
dengan demikian terdapat dua kali pukulan ricikan
kethuk maka bentuk gendingnya adalah gending kethuk 2 kerep. Konsep ini kalau disejajarkan dengan konsep tabuhan dalam karawitan Bali, sama
dengan kerangka balungan pada jenis tabuh lelambatan yang mana terdapat 16
pukulan tungguhan penyacah atau empat
frase dalam satu kalimat lagu yang ditandai dengan jatuhnya pukulan jegog atau kenong (jawa). Bentuk kerep
dan bentuk arang dalam karawitan Jawa
disebut dengan merong. Biasanya tidak
dapat berdiri sendiri. Kebiaannya mereka harus disajikan dengan bentuk
kelanjutannya yang di sebut dengan inggah/minggah.
Ada merong yang mempunyai minggah sendiri dan ada pula inggah-nya meminjam. Melodi merong selalu tersusun dengan menggunakan jenis balungan mlaku sedangkan inggah
gending kebanyakan menggunakan jenis balungan
nibani. Di dalam inggah tidak
terdapat istilah kerep dan arang, karena jarak tabuhan kethuk di semua jenis inggah berjarak sama.
c) Laras Slendro Pathet Sanga
Dalam dunia karawitan istilah laras
memang tidak asing lagi. laras
yaitu sistem pengaturan frekwensi dan interval nada-nada. Dalam sebuah laras terdapat beberapa nada. Kalau lima
nada di sebut sistem lima nada dan kalau tujuh nada disebut sistem tujuh
nada. Secara umum ada dua laras yang digunakan yaitu laras pelog dan laras slendro. Masing-masing laras
ini memiliki karakter yang berbeda. Untuk mendukung suasana gending yang di
bawakan masing-masing laras terdapat
beberapa pathet. Dalam laras pelog terdapat pathet limo, pathet nem, pathet, barang.
Dalam laras slendro terdapat tiga
pathet yaitu pathet nem, pathet sanga dan pathet mayura. Pathet sanga
yang menjadi bahasan dalam judul diatas memiliki teba atau wilayah nada yang lebih besar. Sehingga gending yang
disajikan dalam pahtet ini, memiliki
nuansa yang lebih agung dan wingit.
3. Deskripsi Objek
Gending Gambir Sawit termasuk kedalam
jenis gending ageng. Mengingat bentuk
dan strukturnya yang memilki frase lebih dari delapan dalam satu gongan. Melihat dari bentuk penyajiannya
gending Gambir Sawit sering disajikan
pada acara klenengan, dengan nuansa
tenang, hening dan wingit. Kalau
dilihat dari ricikan yang melakukan buka gending ini dimulai dengan rebab. Artinya secara melodi ricikan rebab mempunyai peran yang
sangat penting dalam memimpin jalannya gending. Pada saat rebab melakukan srenggengan
(sajian melodi pendek tabuhan ricikan
rebab sendirian untuk mengkonsilidasikan atau memantapkan rasa pathet kepada semua pemabuh, agar dalam
menyajikan gending rasa pathet mereka
sudah mapan), saat ini semua perhatian penabuh tertuju kepada rebab. Sebab setelah rasa pathet sudah terkonsolidasi oleh sajian srenggengan tadi, Ia akan segera
melakukan buka dan semua ricikan harus menyambut buka tersebut secara bersama-sama.
Kendatipun rebab memimpin melodi
gending, namun dalam hal tempo, dinamika, dan irama, tetap dikendalikan oleh kendang. Gending Gambir Sawit dalam klenengan
ini termasuk klenengan lengkap,
karena ditinjau dari iramanya memakai semua irama yang ada. Yaitu irama tanggung, irama dadi, irama wilet dan irama rangkep.
a)
Perangkat
Gamelan
Dalam menyajikan gending Gambir Sawit,
menggunakan perangkat gamelan ageng.
Dalam satu kesatuan perangkat gamelan ageng
terdiri dari dua kelompok. Satu kelompok berlaras pelog dan satu lagi berlaras slendro.
Setiap kelompok tadi dalam karawitan Jawa disebut dengan Pangkon. Jadi dalam menyajikan gending
Gambir Sawit memakai gamelan ageng
pangkon slendro lengkap. Adapun ricikan-nya
adalah ; rebab plonthang, gender barung,
gender penerus, bonang barung, bonang penerus, slenthem, demung, saron barung,
saron penerus, gambang, clempung, siter,
kenong, kempul, kethuk kempyang, engkuk (kemong dua pencon),
sepasang kemanak, suling, gong suwukan,
gong ageng, seperangkat kendang. Gending Gambir Sawit tidak hanya
dimainkan dalam gemelan pangkon slendro
pathet sanga, terkadang juga dimainkan dalam pangkon pelog pathet nem. Dimainkanya dalam pelog nem gending Gambir Sawit
kurang memiliki gereget. Karena dalam pelog
nem terkesan lebih girang dan riang. Hal ini tentu tidak sesuai dengan
esensi gending yang diinginkan. Namun dalam slendro
pathet sanga-lah kecocokan rasa didapat dengan nuansa hening, agung dan wingit.
b) Bentuk dan Struktur
Telah
disebutkan di atas bahwa gending Gambir
sawit termasuk dalam gending ageng
yang dapat diidentipikasi salah satunya melalui penulisannya. Penulisan kata
“gending” mempunyai pengertian sempit bahwa gending tersebut memiliki
bentuk dan ukuran panjang yang ditandai
dengan sabetan balungan dan ricikan struktural (kethuk kerep 2 minggah 4) seperti ricikan kethuk-kempyang, kenong, kempul dan gong, dengan struktur
terdiri dari buka, merong, umpak inggah dan inggah. Masing-masing bagian tersebut
memiliki pola tabuhan atau pola garap
dengan memperhatikan irama yang di sajikan. Untuk memberikan gambaran yang
jelas mengenai bentuk dan struktur gending
Gambir Sawit dapat dilihat memalui notasi melodi balungan di bawah ini.
Notasi
buka
t . 6 1 2
. 2 . 2 . 1 2 1 3 2 1 2 . 1 6 g5
ir. Tanggung
[ . e t w . 3 5 6 2 2 . . 2 3 2 n1
masuk irama dadi
. . 3 2 . 1 2 6 2 2 . . 2 3 2 n1
. . 3 2 . 1 6 5 . . 5 6 1 6 5 n6<umpak
2 2 . 3 5 6 2 1 3 5 3 2 . 1 6 g5]
Ngelik
6 6 . . 6 6 . . 2 2 . . 2 3 2 n1
. . 3 2 . 1 2 6 2 2 . . 2 3 2 n1
. . 3 2 . 1 5 6 . . 5 6 1 6 5 n3
2 2 . 3 5 6 2 1 3 5 3 2 . 1 6 g5
Umpak
Inggah
>. 2 . 1 . 6 . 5 . 2 . 3 . 3 . n2
ir. Dadi kendang ciblon
. 3 . 5 . 2 . 1 . 2 . 1 . 6 . g5
Minggah
[ . 6 . 5 . 1 . 6 . 1 . 6 . 2 . n1
. 2 . 1 . 2 . 6 . 1 . 6 . 2 . n1
irama
wilet+ ir. dadi mau suwuk.
. 2 . 1 . 6 . 5 . 1 . 6 . 2 . n1
. 6 . 5 . 2 . 1 . 2 . 1 . 6 . g5 ]
NB.
Notasi gerongan di bagian lampiran.
Dengan memperhatikan notasi di atas, dapat diketahui bahwa gending Gambir Sawit memiliki buka terdiri dari lima frase, sebelum
akhirnya menuju merong yang ditandai
dengan jatuhnya gong. Merong-nya (kethuk 2 kerep) terdiri dari
16 sabetan atau empat frase dalam
satu kenong, dan 64 sabetan atau 16 frase dalam satu gongan. Bagian ini merupakan ajang garap yang halus dan tenang.
Setelah berlangsung selama satu kali putaran merong, dilanjutkan ke bagian ngelik.
Ngelik merupakan bagian lagu yang tidak pokok, tetapi wajib dilalui.
Artinya dalam penyajian gending, ngelik
boleh ada boleh tidak dikarenakan oleh desakan waktu atau hal lain. Setelah ngelik gendhing kembali ke merong. Struktur berikutnya adalah ke
bagian inggah. Pergantian merong ke inggah, dijembatani oleh umpak, yang dikomandoi oleh tabuhan kendang pada menjelang kenong ke-tiga. Model transisi atau
“jembatan” ini lazim disebut dengan umpak
inggah yang ditandai dengan tabuhan kendang khusus, serta mengkomandoi
dengan manaikan tempo sedikit lebih cepat dari pada merong.
Bagian berikutnya adalah bagian
inggah. Gending Gambir Sawit memiliki inggah
tersendiri, dengan kata lain inggahnya merupakan kelanjutan dari pada merong. Hanya saja sesuai dengan
hukum/norma yang berlaku, balungan inggah ini memakai jenis balungan nibani.
dalam inggah ini terjadi dua
kali andeg yaitu perberhentian
sementara menjelang kenong. Kemudian dilanjutkan oleh sinden menuju melodi berikutnya.
Andeg dilakukan pada menjelang
kenong pertama dan menjelang kenong ke-dua dalam irama rangkep. Selain andeg juga diwarnai dengan perubahan irama. Satu gongan pertama
memakai irama wilet, masuk gongan ke-dua irama berubah menjadi irama rangkep. Irama rangkep hanya terjadi dua kali kenongan, setelah itu
kembali ke irama wilet, sebelum akhirnya
menuju suwuk, Pada pertengahan melodi
menuju kenong ke tiga dalam gongan putaran yang ke-tiga. Dalam perbagai
perubahan irama ini, kendang yang
berfungsi sebagai pemurba irama, memiliki peran yang sangat penting dalam
mengkoordinasikan perubahan. Sehingga
terjadi kesatuan rasa yang harmonis.
c) Garap
Beberapa
pakar karawitan Jawa menyatakan bahwa dalam penggarapan gendhing, pengrawit
diberikan kebebasan untuk menterjemahkan, memberi makna, serta menafsirkan
garap sesuai dengan rasa estetik musikalnya. Hal ini juga didukung oleh
pernyataan Rahayu Supanggah menyatakan bahwa karawitan bersifat fleksible dan multi interpretable. Artinya para pemain ricikan terutama ricikan
garap bebas menafsirkan kemungkinan-kemungkinan garap sebuah gendhing. Hal ini
kemungkinan ‘salah’ atau ‘benar’ tidak terjadi. Yang terjadi hanyalah penak dan ora kepenak atau munggah dan ora munggah. Ricikan-ricikan yang
melakukan interpretasi tersebut antara lain ; rebab, gender, kendang,dan
bonang. Dalam gending Gambir Sawit
menurut pengamatan dan rasa musikal kami, peranan rebab dan sinden sangat
dominan dalam melakukan cengkokan.
Dengan tuntunan rebab, pesinden mampu
membuat cengkokan mengalun sangat
indah. Hal ini juga didukung oleh pola tabuhan
gender dengan pola tabuhannya mampu membuat cengkokan yang enak didengar. Ricikan gambang dan siter bertugas memainkan tempo dan membuat pola tabuhan mengisi ruang-ruang balungan dengan lincah dan enerjik. Tak
kalah penting adalah ricikan bonang
dengan teknik permainan atau pola tabuhan
imbal dan sekaran memberikan warna garap sangat kaya. Kendang dalam hal ini selain sebagai pemurba irama, juga membuat
variasi pukulan terutama dalam permainan kendang
ciblon yang masuk menjelang inggah.
Selain ricikan-ricikan tadi peranan gerong juga tak kalah pentingnya. Selain
melantumkan syair-syair gerongan, juga melakukan senggaan dan keplokan untuk
meramaikan dan mendukung suasana. Sistem garap inilah letak estetika, keunikan
gending ini, yang didukung oleh keahlian
para pemain ricikaan garap dalam menafsirkan
balungan gending dengan
variasi-variasi cengkokan-nya.
Sehingga para penikmat hanyut dalam keasyikan menikmati cengkok dan tabuhan.
Mungkin tidak hanya penikmat yang hanyut dalam menikmati gendhing, melainkan
pemain juga hanyut dalam menikmati tabuhan-nya
sendiri.
4. Tunjauan Sejarah dan Pengrawit.
Gending gambir sawit diciptakan pada
tahun 1820 pada pemerintahan Kanjeng
Sesuhunan Pakubuwono Kaping V. Keraton dalam hal ini sebagai pusat
kebudayaan memiliki peran yang sangat penting dalam pembinaan dan pengembangan
seni khususnya seni karawitan. Seluruh ciptaan seni hanya dipersembahkan untuk
raja. Walaupun gending-gending itu secara de
facto di ciptakan oleh seniman yang hidup pada waktu itu, namun karena
kekuasaan dan sifat feodalis keraton,
secara de jure gending itu
hanya boleh diakui oleh sang raja. Hal ini menjadi tidak jelas siapa orang yang
sebenarna menciptakan gending ini.
Apakah raja atau kah abdi dalemnya. Tapi mengingat dalil yang telah
dikemukakan di atas, raja yang berkuasa
lah menjadi pencipta segala seni yang muncul pada saat pemerintahannya. Selain gending Gambir Sawit pada pemerintahan P.B. V ini banyak sekali gending-gending
lain yang muncul, diantaranya: Kembang Gayam, Rarawudhu, Raranangis, Randha
Nunut, Montro, Lobong dan lain sebagainya.
Mengenai pengrawit yang menyajikan gending Gambir Sawit ini, kami tidak mendapatkan informasi secukupnya.
Karena gending ini berupa rekaman audio
berupa CD yang kami ambil dari
perpustakaan Jurusan Karawitan ISI Surakarta. Melihat dari lebelnya kemungkinan
besar gending ini disajikan oleh pengrawit dari para dosen dan mahasiswa STSI
Surakarta. Berdasarkan pengalaman musikal kami, secara audio gending ini dibawakan sangat baik; kesatuan rasa, teknik
tabuhannya dan suara gamelannya. Sebagai orang yang berlatar belakang berbeda,
kami belum bisa membedakan secara pasti dan detail rasa dan teknik tabuhan antara pengrawit alami dengan pengrawit
yang berlatar belakang alami plus akademik. Juga dalam hal gaya personal,
kelompok, maupun regional.
5. Penutup
Dengan
uraian yang telah dikemukakan diatas, telah memberikan gambaran yang cukup,
Tentang gending gambir sawit. (Setidaknya bagi kami yang berlatar belakang yang
berbeda). Walaupun hanya secuil dari pengetahuan karawitan jawa yang sangat
luas. Kami yakin tulisan ini jauh dari lumayan, namun untuk memenuhi tugas
analisis karya I ini, sekiranya dapat sebagai tonggak untuk mengetahui
karawitan Jawa lebih jauh.
DAFTAR
PUSTAKA
Hastanto, Sri. 2009. Konsep Pathet
Dalam Karawitan Jawa. Surakarta : Program pascasarjana bekerja sama dengan
ISI Press.
Supanggah, Rahayu. 2009. Bhotekan Karawitan II : GARAP. Surakarta :
Program Pascasarjana bekerja sama dengan ISI Press.
Martopangrawit. 1968. Pengetahuan Karawitan I
Wawancara
I Ketut Saba
Yeni Arama
Saryanto
Agus Prasetyo
Lampiran.
GERONGAN
GENDHING GAMBIR SAWIT
Merong
. . 2 2 . . j23 2 . . 2 2 j.1 1 j23 1
pu-na- pa- ta mirah - ing
- sun
. . . . 3 3 j35
2 . . 2 1 j.6 2
j321 x6x
prihatin-was - pa
gung mi jil
.1
2 . . 5 5 j.6 1 . 2 j165 j56 j165 j23 2 1
suhu da-hat tan-
pa kar - ya
. . . . 3 3 j35
2 . . 6 ! j.@ j61 6 5
sengkang rine - mekan gus - ti
. . . . 5 5 j.5 6 . !j j!2 6 j.1 5 . x3x
gelung ri-nu - sak
se - kar - ya
. 2 . . 5 5 j.6 ! . @ j!65
56 j165 j23 2 1
sumawur gam - bir me
- la - thi
Ngelik
. . @ @ . .j @#
@ . . @ @ .! ! j@# !
u-pa
ma – tyas - se ma - ngun
- kung
. . . . 6 6 j.6 ! @ . @ ! j.6 @
j#@! x6x
mulat-ing si - ra dyah a
- ri
jx.x12 . . @ @ jx@x# @ . . @ @ j.! ! j@# !
sayek-ti me - lu ma
- nga -
rang
. . . . 6 j6! j!@ @ . . j!6 ! j.2 j6!6 5
te las - sing ri
- ris gu - man
- ti
. . . . 5 5 j.5 6 . ! j!@ 6 j.1
5 . x3x
ing kang
terang - ga- na su
- nyar
. 2 5 . 5 5 j.6 ! . @ j!65 j56 j!65 23 2 1
remeg de –ning sa - lah kap
- ti
Catatan
:
Dua
gatra balungan menjelang gong, baik pada merong maupun pada ngelik tidak di
gerongi. Melainkan sindenan dan cakepannya sebagai berikut: gambir sawit
mawur-mawur.
Bagian
Inggah irama wilet
. . ! ! . . j!@ 6 ! . @ @ . j6@ ! j!6
marman - ta
ma - ngrurah ge lung
. . j56! .@ j6! 5 3 . . 5 5 j6! 5 k6j53 2
lintang - nge me -
rang ni - ngal - i
. . . . 6 6 j.6! 5 6 j!@j@# ! j.@ j6! 6 5
mringla-ngening kiswan - ni - ra
. . . . @ @ j@! 6 ! @ k!j65j56 k1j65 j23
2 1
miwah ki dang ki- dang I - sin
. . 2 2 . . j@# @ . . @ @ j.! ! j@#
!
miyar - sa - ing
swara - ni - ra
. . 6 6 . . 6 ! . @ !6 ! .@ 6!6 g5
siki - dang um - pet-
an te - bih
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMaturnuwun sampung paring kawruh
ReplyDelete