TABUH KREASI PEPANGGULAN GAMELAN SMARANDHANA
“ LEMAYUNG”
1. Pendahuluan
Lemayung adalah
sebuah komposisi karawitan Bali yang menggunakan gamelan Smarandhana sebagai media ungkap. Komposisi ini
berbentuk tabuh kreasi pepanggulan. Sebelum membicarakan Tabuh
kreasi pepanggulan, ada baiknya kita
ketahui terlebih dahulu apa itu tabuh kreasi. Tabuh kreasi adalah komposisi
karawitan Bali yang diaransir baru, kendatipun unsur–unsur materi
tradisinya masih sangat menonjol, yang
dikreasikan adalah unsur–unsur musik yang melekat didalamnya seperti isi,
teknik permainan, tempo, dinamika dan lain-lain. Sedangkan pepanggulan berasal dari kata panggul
yang artinya alat untuk memukul gamelan. mendapat awalan pe- dan akhiran –an
menjadikan kata “pepanggulan”. Kata ini dalam karawitan Bali berarti menabuh
memakai panggul yang lebih menekankan
kepada tungguhan kendang.
Sebagai perbandingannya seperti adanya
Tabuh Kreasi Kekebyaran dan Tabuh
Kreasi Lelambatan. Tabuh Kreasi Kekebyaran
yaitu komposisi karawitan yang bentuk dan unsurnya diaransemen baru yang
diilhami oleh pola-pola kekebyaran
dan tentu saja menggunakan Gong Kebyar sebagai media ungkap.
Sedangkan Lelambatan Kreasi adalah
komposisi karawitan yang mengkreasikan atau mengaransemen bentuk dan unsur-
unsur tabuh lelambatan klasik
sehingga nampak baru. Penggunaan tungguhan
kendang dan trompong sangat
menentukan jenis komposisi yang dimainkan. Tabuh
Kreasi Kekebyaran menggunakan kendang
gupekan (kendang yang dipukul dengan tangan) dan tidak menggunakan tungguhan trompong. Walaupun tungguhan
ini digunakan dalam menyajikan tabuh kreasi, hal ini hanyalah sebagai kebutuhan
estetis dan bukan berfungsi sebagaimana halnya dalam tabuh lelambatan selaku tungguhan
penandan gending yang membawakan melodi. Dalam Tabuh Lelambatan kendang yang digunakan adalah kendang cedugan yaitu kendang
yang ukurannya lebih besar dan menggunakan panggul
untuk membunyikannya, dan tentu saja menggunakan tungguhan trompong yang
kehadirannya mencirikan bahwa
tabuh yang dimainkan adalah Tabuh Lelambatan.
Tabuh Kreasi Pepanggulan boleh
dikatakan mengadopsi atau diilhami oleh
kedua jenis komposisi diatas. Yang
dimaksudkan mengadopsi disini adalah Tabuh
Kreasi Pepanggulan menggunakan seluruh tungguhan yang ada dalam barungan Gong Kebyar termasuk trompong, kendang cedugan, bebende dan
kempli, yang mana tungguhan ini
merupakan tungguhan penentu dalam
memainkan gending-gending lelambatan.
Akan tetapi Tidak menggunakan bentuk, struktur, dan hukum-hukum lelambatan. Sedangkan pengadopsian dari Tabuh Kekebyaran terletak pada motif
pukulan instrumen garap seperti gangsa,
kendang, dan reyong. Jadi Tabuh Kreasi Pepanggulan adalah
komposisi karawitan yang menggunakan kaedah-kaidah lelambatan dan kaedah-kaidah kekebyaran
dalam penggarapannya. Adapun pementasannya dalam ajang Festival Gong Kebyar, Tabuh Kreasi Pepanggulan digunakan untuk
mengganti nomer Tabuh Lelambatan Kreasi.
Di dilihat dari pola garap dan penyajiannya Tabuh
Kreasi Pepanggulan lebih cendrung mengarah ke lelambatan.
2. Gamelan
Semarandhana
Gamelan Smarandhana adalah sebuah
barungan gamelan Bali yang dibuat pada tahun 1988 oleh seorang empu karawitan
Bali yaitu I Wayan Berata. Pembuatan gamelan ini merupakan keberlanjutan dari Gamelan Genta Pinara Pitu yang
mengabungkan antara gamelan Gong Kebyar
yang merupakan gamelan berlaras pelog lima
nada dan gamelan Semar Pegulingan yang berlaras pelog tujuh nada. Secara tungguhan
gamelan ini sama dengan gamelan Gong Kebyar.
Hanya saja masing-masing tungguhan kelompok gangsa,
reyong dan trompong (tungguhan melodik)
mendapat dua tambahan nada pada angkep
(oktaf) ke-dua sehingga urutan nada gangsa
terdiri dari 4 (dong), 5 (deng), 7(dung), 1(dang)
3(ding), 4(dong), 5(deng), 6(deung),
7(dung), 1(dang), 2(daing), 3(ding).
Smarandhana berasal dari dua kata yaitu Smara dan Dhana. Smara berarti “ suara” dan Dhana berarti “ Kaya” jadi Smarandhana berarti kaya dengan suara.
Dua belas bilah yang terdiri dari tujuh nada dengan wilayah nada yang lebih
luas memungkinkan untuk mengolah melodi
dalam berbagai patutan (patet).
Menurut I Wayan Berata, (dalam Tenzer, 2007 : 30) seorang komponis dan pelaras
gamelan mencatat berbagai patutan
berhubungan dengan tujuh nada sebagai berikut. Dipadatkan dalam satu oktaf:
1.
patutan Selisir urutan nadanya 123 56
2.
Patutan Selendro gede urutan nadanya 234 67
3.
Patutan Baro urutan nadanya 1 345 7
4.
Patutan Tembung urutan
nadanya 12 456
5.
Patutan Sunaren urutan nadanya 23 567
6.
Patutan Pengnter alit urutan nadanya 1 34 67
7.
Patutan Pengenter urutan nadanya
12 45 7
8.
Patutan Lebeng urutan nadanya 1234567
Penamaan
patutan di atas terutama patutan selisir, baro, tembung, sunaren
dan lebeng diambil dari atau
digunakan dalam reportuar gambuh/ semar pegulingan. Selain patutan ini tidak diakui secara luas di masyrakat, namun dengan
intennya penggunaan gamelan smarandhana dan kreativitas seniman dalam
penggarapan musiknya, istilah patutan
ini mulai dikenal dan diterima oleh
masyrakat yang memiliki perangkat gamelan smarandhana seperti Sanggar Cudamani,
Sanggar Smara Ratih dan beberapa Sekaa-sekaa[1]
lainnya. Secara sederhana patutan yang
paling sering dimainkan adalah patutan selisir, patutan tembung, dan Patutan sundaren. Kalau
dibandingkan dengan gamelan Jawa patutan selisir
dapat disejajarkan dengan patet nem, patutan tembung dengan patet limo, sedangkan patutan sundaren dengan patet barang.
Gamelan Smarandhana yang tergolong dalam
gamelan berlaras pelog tujuh nada
dapat juga menghasilkan “nuansa” slendro[2]
sehingga sangat kaya akan suasana yang ditimbulkan. Gamelan ini sangat
potensial untuk berkreativitas sebagai musik tari, teater maupun membawakan
sajian intrumental. Keunggulan lainnya adalah gamelan ini sangat pleksibel yang
dapat memainkan reportuar dari jenis gamelan yang berbeda. Seperti, gamelan gong kebyar, gamelan gong gede,
gamelan semar pegulingan, dan lain-lain.
3. Ide Tabuh Kreasi
Pepanggulan “Lemayung”
Tabuh kreasi Pepanggulan Lemayung
diciptakan oleh Dewa Putu Berata seorang komposer karawitan jebolan STSI (ISI)
Denpasar. Menurut Dewa Brata yang berhasil
diwawancarai via face book, karena Dewa Brata saat itu sedang berada di
Amerika Serikat memimpin rombongan Cudamani[3],
sanggar seni miliknya sedang mengadakan
pementasan di Amerika Serikat. Tabuh ini diciptakan pada saat situasi
Pemilihan Umum pada tahun 2004. Ide karya ini muncul mana kala partai-partai
peserta pemilu mengombral janji-janji politiknya untuk menarik simpati rakyat untuk kepentingan sesaat. Rakyat menjadi sangat bingung dalam
menentukan pilihan sehingga muncul kata “ Lemayung”
yang berarti perasaan yang tak menentu. Hal ini diterjemahkan dengan rakyat
kecil adalah ritma lemah dan penguasa dengan ritma yang kuat apa bila
diaduk-aduk dan diatur akan menghasilkan keindahan dalam perbedaan. sari-sari
keindahan dalam perbedaan itu belum
tentu bisa ditangkap oleh semua golongan yang dalam hal ini adalah rakyat. Hal
ini akan semakin membuat ketidakpastian menjadi nyata apabila para penguasa
besar dengan janji-janji politiknya seolah-olah merayu merebut simpati rakyat
dengan menghembuskan “angin” penggolongan untuk tujuan sesaat. Tetapi bagi
orang yang memiliki kejelian dan keteguhan iman tidak akan tergoyahkan dan
tetap menjaga keutuhan, kerukunan dan kebersamaan. Janji-janji tersebut
diterjemahkan dalam bahasa karawitan hanyalah sebagai pemanis belaka dan secara
tidak sadar mereka telah menebar kebohongan yang akan sulit dimaafkan nantinya.
Jadi janji haruslah ditepati.
4. Deskrepsi-Analisis
Sebagai
komposisi karawitan Bali, Tabuh Kreasi
Lemayung tetap menggunakan tiga konsep dasar yaitu konsep Tri Angga[4]
(kepala, badan, dan kaki) Kepala
dalam hal ini karawitan Bali disamakan dengan kawitan dalam bentuk gineman[5].
Tabuh kreasi Lemayung ini menggunakan
model gineman dengan motif
kalimat-kalimat lagu pendek yang dibawakan oleh masing-masing kelompok tungguhan yakni gangsa, reyong, kendang secara bergantian. Disini pola tabuhan-nya sudah mulai keluar dari kebiasaan seperti terlihat pada
pola kekendangan, pengrangrang trompong[6],
dan gegenderan[7].
Yang dimaksudkan dengan keluar dari kebiasaan adalah, jalinan pola kekendangan-nya memakai hitungan ganjil,
menggantung dan putus pada tengah-tengah
hitungan. Pola kekendangan ini bagi pengendang yang mempunyai ketrampilan
dan pengalaman terbatas akan terasa sangat sulit. Pengrangrang
trompong memakai dua model patet dan
di tengah-tengah permainan diselingi oleh permainan gangsa dan reyong yang
permainan reyong-nya diluar kebiasaan
yakni memainkan reyong secara
berundag-undang atau model stratapikasi
dari nada tinggi ke rendah bergulung gulung seperti ombak di pantai. Pada
segmen kedua permainan gineman trompong
berganti patet bernuansa slendro dan
memasukan instrumen violin yang alunan melodinya terkesan sangat sedih dan
menyayat hati. Melodi ini juga dirangkai dengan memadukan pukulan nyogcag oleh tungguhan kantil yang menggambarkan kesedihan masyrakat “cilik”.
Pada pola gegenderan memakai kotekan tungguhan gangsa dengan pembagian lima
hitung pada satu pukulan kajar yang
bisanya atau lazimnya dalam satu ketukan, kotekan-nya
dibagi menjadi empat sub divisi. Selain gangsa, reyong turut bermain dengan pola
yang tidak lazim pula yaitu disamping memakai pola hitungan lima, reyong dibunyikan dengan memukul dan
menutup secara bersamaan sehingga menghasilkan suara enek atau suara yang tidak los.
Selanjutnya dari bagian satu menuju
kebagian dua dijembatani dengan sebuah kebyar[8]
pendek sebagai pertanda pergantian struktur dari kawitan ke bagian pengawak. Bagian pengawak,
tabuh ini bermain dalam pebedaan tempo dan hitungan pada tungguhan pembawa
melodi dengan tungguhan garap yakni reyong
dan gangsa. Dibentuk dengan
kalimat lagu yang terdiri dari empat baris dalam satu gongan memakai patutan
selisir. Setiap barisnya dilakukan penonjolan-penonjolan kolompok tungguhan
secara bergantian. Perbedaan yang selaras ini mengasilkan harmoni yang enak didengar dan dinamika yang
dinamis dengan penonjolan masing-masing
kelompok tungguhan tadi. Permainan ini mengingatkan kita pada situasi pemilu
yang masing –masing kelompak masyarakat saling berlomba mencari dukungan
menonjolkan diri. Sehingga kelompok-kelompok masyarakat netral bingung dalam
menentukan pilihan. Untuk mencari pengulangannya diselingi dengan satu kalimat
lagu yang melodi dan ritmanya lebih lincah dan menggugah yang lazim disebut
dengan pengelik. Bagian ini terjadi
perpindahan patutan dari selisir ke patutan tembung. Pada tungguhan reyong dan
gangsa dalam memainkan tabuhannya
memanfaatkan nada-nada pemero untuk
memperkaya ornamentasi dalam memainkan kotekan. Bagian kedua ini diulangi dua kali putaran
dan langsung menuju ke bagian ke tiga.
Bagian
ke tiga yaitu bagian kaki atau dalam istilah karawitan Bali disebut dengan pengecet atau pekaad. Transisi ke bagian
ini kembali dilakukan kebyar pendek
dan dilanjutkan dengan kotekan gangsa
sebelum benar-benar melakukan bagian pengecet.
Pada bagian ini berbentuk gilak[9] dengan bermacam-macam modulasi yang mendapat
variasi tabuhan gangsa, reyong dan kendang yang dikombinasikan sedemikian
rupa sehingga nampak suasana yang lebih bingar dan gembira. Pola tabuhannya lebih lincah dan bermain pada tempo yang lebih cepat. Selain
dibentuk dengan gilak, pengecet ini juga diselingan dengan pola gegenderan seperti yang terdapat dalam kawitan atau gineman, tetapi dalam patutan
dan melodi yang berbeda. Kotekan dengan
hitungan ganjil yaitu lima berbanding satu juga mewarnai pola gegenderan ini. Hitungan kontras, dan
penonjolan masing-masing kelompok tungguhan
seperti gangsa, reyong, dan kendang, terus menghiasi bagian ini.
Sebelum menuju bagian akhir, rangkaian motif oncang-oncangan yang dikombinasikan
dengan pola angsel[10]
reyong dan kendang menghantarkan
komposisi ini ke melodi penutup dengan mengutif satu kalimat lagu pada bagian kawitan.
5. kreativitas dan Pembaharuan
dalam
berkreativitas untuk mewujudkan karya seni kreasi baru, yang menjadi kata kunci
adalah dimanakah letak pembaharuan dalam karya seni tersebut? Dalam karya tabuh kreasi pepanggulan Lemayung ini
dalam dilihat pembaharuannya antara lain:
1) Penggunaan
barungan gamelan Smarandhana.
Sebelumnya tabuh-tabuh pepanggulan yang
sejenis hanya menggunakan barungan gamelan Gong
Kebyar dengan kaidah-kaidah kekebyarannya.
Menggunakan barungan gamelan Smarandhana dengan
“kekayaannya” memungkinkan untuk berkreativitas mengeksplorasi unsur-unsur
musik yang yang melekat dalam gamelan tersebut.
2) Masuknya
instrumen musik barat yaitu violin.
Dibutuhkan kejelian dan keberanian dalam penggunaan instrumen-instrumen non
gamelan supaya kehadirannya pas dengan kebutuhan musikal dan tidak terasa “menggangu”.
3) Memakai
sistem kotekan diluar kelaziman
yaitu, dalam memainkan kotekan
biasanya menggunakan pembagian atau sub divisi satu berbanding empat. Akan
tetapi di sini digunakan sub divisi satu berbanding lima. Perbaduan genap dan
ganjil disini dalam penggarapan dibutuhkan kejelian dan kreativitas yang
tinggi, dan tentunya sebagai penyajinya dibutuhkan pemain-pemain gamelan yang
trampil dan berpengalaman.
4) Ritma,
banyak ditemukan ritma-ritma baru baik berupa angsel-angsel yang dilakukan oleh
reyong, ceng-ceng maupun kendang yang dipadukan dengan permainan gangsa yang memanfaatkan warna dan
tinggi rendahnya nada.
5) Kendang
sebagai tungguhan yang penting dalam karawitan Bali banyak memainkan pola
jalinan atau kekendangan diluar
kebiasaan. Hal ini dibutuhkan kreativitas yang tinggi dalam mencipta dan
ketrampilan yang yang tinggi dalam menyajikannya.
6.
Notasi
dalam mengnotasi reporatuar gamelan
laras pelog tujuh nada kami menemukan kesulitan apabila terjadi modulasi (
perpindahan pathet di tengah tengah melodi) terkait dengan penggunaan huruf
Bali sebagai simbul bunyi nada. Apalagi ditambah dengan tingkat kerumitan
komposisi yang disajikan, sehingga
Pengnotasian karawitan Bali hanya bersifat deskripsi (notasi dengan
pokok pokok nadanya saja) dan tidak bisa mewakili sebuah teks komposisi secara
utuh. Pengnotasian seperti ini sering dan hanya berlaku untuk mencatat
gending-gending lelambatan klasik yang pola garapnya sederhana. Dalam
penggarapan musik-musik yang lain, notasi hanya digunakan oleh komposer untuk
mengingat apa yang dibuatnya sebelum dituangkan kepada musisi. Hal ini lebih
bersifat sketsa yang membutuhkan penggarapan lebih lanjut.
Dalam
mengnotasi tabuh lelambatan pepanggulan Lemayung ini kami gunakan notasi
karawitan Bali yang disebut dengan Notasi Ding-Dong
dengan segala “keterbatasannya”. Dalam menganalisis gending memang dibutuhkan
notasi untuk menunjukan keberadaan musik sebagai teks visualisasi. Namun karena
keterbatasan waktu dan kemampuan, Pencatatan ini hanya untuk mengetahui
struktur dan bentuk dari komposisinya saja, dan tentu tidak mewakili teks reportuar secara
keseluruhan. Dalam penulisan patutan, nada pertama dalam urutan tiga nada
adalah nada ding dengan simbul 3
,
seperti terlihat dalam tabel.
Patutan
|
Urutan
nada
|
||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
|
P. Lebeng
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
1
|
2
|
P. Selisir
|
3
|
4
|
5
|
-
|
7
|
1
|
-
|
P. tembung
|
7
|
1
|
_
|
3
|
4
|
5
|
_
|
P. Sunaren
|
_
|
7
|
1
|
_
|
3
|
4
|
5
|
P. Baro
|
1
|
_
|
3
|
4
|
5
|
_
|
7
|
Notasi
Tabuh Pepanggulan Lemayung.
Kawitan
Gangsa
+ Reyong
3 j17
j171
j1j73 1 j13
j713 j17 j13
j71 j.1 j.1 3
j13 j.1 3 7 j57 j.1 3 j.1 3 7 5 ...
j.7 5
j55 j75 j43 1
j55 j45 j71 j71 j75 j45 g3
jalinan kekendangan
gangsa patutan tembung
7 1 7 1 5 7 5 3 1... 7 5 ......7 1 7 1 j34
j53 4 3 1 /5 5 3 =4 5 4 5 j65 j43 2 2 3 4 j75
3 2 j71 3 5 j31 5 7 j217 3 5 7 j54
g3
pengrangrang trompong
43...... 3 . ...3....3…3 333
4 5 6 5 6 4 5 6 5 6 . . .j757. . .5
5....5.... 5.... 5.. 5..5. 5...j.4
3....3....3....3..3
3..3.3....5 7 5 7 5 757575 j77...
j.7 5
reyong
j.7 j15
j75 j43 1
j75 j43 j17 j31 j75 j17 j54 j75 j43 j54 j31 j75
j75 j43 j17 j31 j75 j17 j54 j75 j43 j54 j31 j75
trompong
j.75....5....5....5.... j757...5...7...5..7..5..7.5.j757
....j757...n5
gangsa
7./77
/7 71 j.3 4 j34
j34 j13 4 j34
j31 /3 j45 j1 3
j17 j13 j17 j1 g3...
trompong
j.31 4 3
kelompok gangsa
3 4 3 4 j72
j75 j71 3 4 3
j13 j157 j12 j717
34 71 j24
j217 5 1 37 j345 1 7 5 g4
kebyar
/j44 j34 j53 4 j11 j43
j13 j71 j31 7 j66
j45 j34 5 j66
j34 j53 4. . . .
p. Baro
7....5...j.7
j13 j431 7. . . .3 . 5 j354.
. . j45 j4317 g1
Biola
1 3 4 5 7 1 n5... 7 4 5 3 1 4 n5... 7 1 4
3 5 7 .5 4 3 1 7 . j54 5 74.. 34 . 34 . j71
j34 5 . 4 .g3
trompong
7 1 3 4 3 1 3 j.77713
. 5 j35 4
kebyar
4 5 . 3 /3 3
/j5j53 5
j73 j.7
j.3 j457
1 /j175 7
. 3 /4 j43 1 3
7 3 7 1 . 3 j33 3
j5j53 5 j531 j5 j7 15
j71 j5 7 4 57
gegenderan
[..131. 57 . 134 . 31 . 7 . 57457. 3.41.
57]
[...157...157...157...157]
kebyar
7 . 1 3 7 1 3 4 . 7 5 7 5 4 3 1 j713 j13 j17 j17 j54 3
5 3 7 5 5 3 j537
1 7 3 1 7 4 . j57
j17 g5
pengawak/bagian ke II
1 7
5 . 1
7 7 1 . . .7
1 7 5 7 j45
j31 7
. . 4574 ..7.13. 45 .
1745 6456 .
4 . g3
pengelik (patutan tembung)
.j.3 .1 . j.
5 .7. j.4 .5 j.3 .7 1 .. 3
j45 j.7
j.4 3 . j61
j.7 5 . g3
Kebyar ke Bagian
III(Pengecet)patutan selisir
g3.. j141
j.1
j515. j.7 j45
g7
Gilak pemalpal
[1 3 1 7 1 3 7 1 7 5 45 7 5 4 5 g7]
< 6713.1.7
gegenderan (patutan Tembung)
[. 1 . 3 1 . 5 7 . 1. 3 4 . 3 1 . 7 . 5 7 4 5 7 . 5 . 4 1 .
5 g7]
patutan baro
[7571. 34134. 7171571. 75175]
3 1 /1
1 3 .4 3 /3 3 4. 3.4. 1 3 1 7 5
7. .7. . .777. . . .12 43
[1 7 2 1 j75
j.57 j17
j671 7 j46 j.43 35 j64 j34
6 4 3 j64 6 j46
4 5 3 1 7]
[7 1 3 1 7 5 7 616417]
3 j17 j17 g1
Keterangan tanda:
3 = ding, 4 = dong, 5 = deng, 6 = deung,
7 = dung, 1 = dang,
2 = daing
[] tanda
pengulangan
g = jatuhnya pukulan gong
< transisi
DAFTAR
ACUAN
Tenzer, Michael. 2000. Gamelan
Gong Kebyar : Seni Musik Bali Abad ke- Duapuluh.
Diterjemahkan
oleh Janet & Joko Purwanto. Universitas
Of Chicago. Edisi
Spesial : Masyrakat Seni Pertunjukan Indonesia
Sukerta, Pande made. 2009.
Ensiklopedi Karawitan Bali . Edisi kedua. Solo : ISI
Press
[1]
Perkumpulan atau
organisasi, terutama yang berpusat di banjar-banjar diaman keanggotaannya
bersifat sukarela
[2]
Patutan selendro gede untuk menunjukan nuansa gender wayang (gamelan
untuk musik wayang berlaras slendro lima nada) dan ada dua lagi masing-masing
dengan empat nada yaitu selendro alit
( 3457) untuk menunjukan interval selendro dalam wilayah nada tinggi dalam
gamelan angklung dan satu lagi jegog
(2357), karena menimbulkan skala unik untuk menunjukan nuansa gamelan jegog
(gamelan yang terbuat dari bambu berkembang di daerah Bali barat).
[3]
Nama sanggar seni/grup
kesenian yang sangat unggul dan menggunakan gamelan Smarandhana sebagai media
untuk membawakan materi pementasannya.
[4]
Tiga bagian tubuh
manusia yaitu kepala, badan, kaki. Dalam
konsep struktur komposisi karawitan Bali, tiga bagian tubuh manusia
tersebut dapat di disejajarkan dengan kawitan,
pengawak, dan pengecet/pekaad,atau bagian satu, dua dan tiga (awal, tengan, dan
akhir)
[5] Sebagai sebuah bentuk introdaksi
dari sebuah komposisi.
[6]
Pola permainan melodi
yang temponya tidak ajeg dilakukan oleh trompong diikuti oleh suling, rebab, dan jegog memberikan aksentuasi.
[7]
nama dari salah satu
bagian bentuk gending menyajikan rangkaian melodi yang dibawakan oleh tungguhan jublag, jegog, suling dan rebab. Tungguhan gangsa, kantil dan reyong
memberikan variasi kotekan.
Bagian ini dalam tabuh kreasi kekebyaran
dipakai sebagai wadah untuk menunjukan kemampuan komposer dalam menyusun melodi
dan membuat variasi kotekan serta penabuh dalam menunjukan teknih tabuhan-nya.
[8]
Pola tabuhan secara
bersama-sama dan serentak, menghentak
dengan tiba-tiba, tanpa menggunakan hitungan. Dilakukan oleh hampir seluruh
tungguhan yang ada kecuali suling, rebab,
kenong, kempur dan trompong.
[9] Rangkaian melodi yang
terdiri dari delapan ketukan dalam satu gongan.
Tungguhan pesu-mulih yaitu kempur terletak pada hitungan ke lima
dan ke tujuh, kempli terletak pada
hitungan ke dua, empat, enam,dan ke
delapan.
[10]
Pola tabuhan dengan hentakan-hentakan ritma dengan
artikulasi yang kuat, ditandai dan
dikoordinasikan oleh kendang
dilakukan bersama-sama dengan reyong dan ceng-ceng.
No comments:
Post a Comment