Pages

Monday, September 24, 2012

LEMAYUNG


TABUH KREASI PEPANGGULAN GAMELAN SMARANDHANA
“ LEMAYUNG”

1. Pendahuluan
Lemayung adalah sebuah komposisi karawitan Bali yang menggunakan gamelan Smarandhana sebagai media ungkap. Komposisi ini berbentuk  tabuh kreasi pepanggulan. Sebelum membicarakan Tabuh kreasi pepanggulan, ada baiknya kita ketahui terlebih dahulu apa itu tabuh kreasi. Tabuh kreasi adalah komposisi karawitan Bali yang diaransir baru, kendatipun unsur–unsur materi tradisinya  masih sangat menonjol, yang dikreasikan adalah unsur–unsur musik yang melekat didalamnya seperti isi, teknik permainan, tempo, dinamika dan lain-lain. Sedangkan pepanggulan berasal dari kata panggul yang artinya alat untuk memukul gamelan. mendapat awalan pe- dan akhiran –an menjadikan kata “pepanggulan”.  Kata ini dalam karawitan Bali berarti menabuh memakai panggul yang lebih menekankan kepada tungguhan kendang.
Sebagai perbandingannya seperti adanya  Tabuh Kreasi Kekebyaran  dan Tabuh Kreasi Lelambatan. Tabuh Kreasi Kekebyaran yaitu komposisi karawitan yang bentuk dan unsurnya diaransemen baru yang diilhami oleh pola-pola kekebyaran dan tentu saja  menggunakan Gong Kebyar sebagai media ungkap. Sedangkan Lelambatan Kreasi adalah komposisi karawitan yang mengkreasikan atau mengaransemen bentuk dan unsur- unsur tabuh lelambatan klasik sehingga nampak baru. Penggunaan tungguhan kendang dan trompong sangat menentukan jenis komposisi yang dimainkan. Tabuh Kreasi Kekebyaran menggunakan kendang gupekan (kendang yang dipukul dengan tangan) dan tidak menggunakan tungguhan trompong. Walaupun tungguhan ini digunakan dalam menyajikan tabuh kreasi, hal ini hanyalah sebagai kebutuhan estetis dan bukan berfungsi sebagaimana halnya dalam tabuh lelambatan selaku tungguhan penandan gending yang membawakan melodi. Dalam Tabuh Lelambatan kendang yang digunakan adalah kendang cedugan yaitu kendang yang ukurannya lebih besar dan menggunakan panggul untuk membunyikannya, dan tentu saja menggunakan tungguhan trompong yang  kehadirannya mencirikan  bahwa tabuh yang dimainkan adalah Tabuh Lelambatan.
Tabuh Kreasi Pepanggulan boleh dikatakan  mengadopsi atau diilhami oleh kedua jenis komposisi diatas.  Yang dimaksudkan mengadopsi disini adalah Tabuh Kreasi Pepanggulan menggunakan seluruh tungguhan yang ada dalam barungan Gong Kebyar termasuk trompong, kendang cedugan, bebende dan kempli, yang mana tungguhan ini merupakan tungguhan penentu dalam memainkan gending-gending lelambatan. Akan tetapi Tidak menggunakan bentuk, struktur, dan hukum-hukum lelambatan.   Sedangkan pengadopsian dari Tabuh Kekebyaran terletak pada motif pukulan instrumen garap seperti gangsa, kendang, dan reyong. Jadi Tabuh Kreasi Pepanggulan adalah komposisi karawitan yang menggunakan kaedah-kaidah lelambatan dan kaedah-kaidah kekebyaran dalam penggarapannya. Adapun pementasannya dalam ajang Festival Gong Kebyar, Tabuh Kreasi Pepanggulan digunakan untuk mengganti nomer Tabuh Lelambatan Kreasi. Di dilihat dari pola garap dan penyajiannya Tabuh Kreasi Pepanggulan lebih cendrung mengarah ke lelambatan.
2. Gamelan Semarandhana
Gamelan Smarandhana adalah sebuah barungan gamelan Bali yang dibuat pada tahun 1988 oleh seorang empu karawitan Bali yaitu I Wayan Berata. Pembuatan gamelan ini merupakan keberlanjutan dari Gamelan Genta Pinara Pitu yang mengabungkan antara gamelan Gong Kebyar yang merupakan gamelan berlaras pelog lima nada  dan gamelan Semar Pegulingan yang berlaras pelog tujuh nada. Secara tungguhan gamelan ini sama dengan gamelan Gong Kebyar. Hanya saja masing-masing tungguhan kelompok gangsa, reyong dan trompong (tungguhan melodik) mendapat dua tambahan nada pada angkep (oktaf) ke-dua sehingga urutan nada gangsa  terdiri dari   4 (dong), 5 (deng), 7(dung), 1(dang) 3(ding), 4(dong),  5(deng), 6(deung), 7(dung), 1(dang), 2(daing), 3(ding).
            Smarandhana berasal dari dua kata yaitu Smara dan Dhana. Smara berarti “ suara” dan Dhana berarti “ Kaya” jadi Smarandhana berarti kaya dengan suara. Dua belas bilah yang terdiri dari tujuh nada dengan wilayah nada yang lebih luas  memungkinkan untuk mengolah melodi dalam berbagai patutan (patet). Menurut I Wayan Berata, (dalam Tenzer, 2007 : 30) seorang komponis dan pelaras gamelan mencatat berbagai patutan berhubungan dengan tujuh nada sebagai berikut. Dipadatkan dalam satu oktaf:
1. patutan Selisir                     urutan nadanya 123 56
2. Patutan Selendro gede       urutan nadanya   234 67
3. Patutan Baro                       urutan nadanya 1 345 7
4. Patutan Tembung               urutan nadanya 12 456
5. Patutan Sunaren                 urutan nadanya   23 567
6. Patutan Pengnter alit          urutan nadanya 1 34 67
7. Patutan Pengenter              urutan nadanya 12 45 7
8. Patutan Lebeng                   urutan nadanya 1234567
Penamaan patutan di atas terutama patutan selisir, baro, tembung, sunaren dan lebeng diambil dari atau digunakan dalam reportuar gambuh/ semar pegulingan. Selain patutan ini tidak diakui secara luas di masyrakat, namun dengan intennya penggunaan gamelan smarandhana dan kreativitas seniman dalam penggarapan musiknya, istilah patutan ini mulai  dikenal dan diterima oleh masyrakat yang memiliki perangkat gamelan smarandhana seperti Sanggar Cudamani, Sanggar Smara Ratih dan beberapa Sekaa-sekaa[1] lainnya. Secara sederhana patutan yang paling sering dimainkan adalah patutan  selisir,  patutan tembung, dan Patutan sundaren.  Kalau dibandingkan dengan gamelan Jawa patutan selisir dapat disejajarkan dengan patet nem, patutan tembung dengan patet limo, sedangkan patutan sundaren dengan patet barang.
Gamelan Smarandhana yang  tergolong dalam gamelan berlaras pelog tujuh nada dapat juga menghasilkan “nuansa” slendro[2] sehingga sangat kaya akan suasana yang ditimbulkan. Gamelan ini sangat potensial untuk berkreativitas sebagai musik tari, teater maupun membawakan sajian intrumental. Keunggulan lainnya adalah gamelan ini sangat pleksibel yang dapat memainkan reportuar dari jenis gamelan yang berbeda. Seperti, gamelan gong kebyar, gamelan gong gede, gamelan semar pegulingan, dan lain-lain.
3. Ide Tabuh Kreasi Pepanggulan “Lemayung”
Tabuh kreasi Pepanggulan Lemayung diciptakan oleh Dewa Putu Berata seorang komposer karawitan jebolan STSI (ISI) Denpasar. Menurut Dewa Brata yang berhasil  diwawancarai via face book, karena Dewa Brata saat itu sedang berada di Amerika Serikat memimpin rombongan Cudamani[3], sanggar seni miliknya  sedang mengadakan pementasan  di Amerika Serikat.  Tabuh ini diciptakan pada saat situasi Pemilihan Umum pada tahun 2004. Ide karya ini muncul mana kala partai-partai peserta pemilu mengombral janji-janji politiknya untuk menarik simpati  rakyat untuk kepentingan sesaat.  Rakyat menjadi sangat bingung dalam menentukan pilihan sehingga muncul kata “ Lemayung” yang berarti perasaan yang tak menentu. Hal ini diterjemahkan dengan rakyat kecil adalah ritma lemah dan penguasa dengan ritma yang kuat apa bila diaduk-aduk dan diatur akan menghasilkan keindahan dalam perbedaan. sari-sari keindahan dalam perbedaan itu   belum tentu bisa ditangkap oleh semua golongan yang dalam hal ini adalah rakyat. Hal ini akan semakin membuat ketidakpastian menjadi nyata apabila para penguasa besar dengan janji-janji politiknya seolah-olah merayu merebut simpati rakyat dengan menghembuskan “angin” penggolongan untuk tujuan sesaat. Tetapi bagi orang yang memiliki kejelian dan keteguhan iman tidak akan tergoyahkan dan tetap menjaga keutuhan, kerukunan dan kebersamaan. Janji-janji tersebut diterjemahkan dalam bahasa karawitan hanyalah sebagai pemanis belaka dan secara tidak sadar mereka telah menebar kebohongan yang akan sulit dimaafkan nantinya. Jadi janji haruslah ditepati.
4. Deskrepsi-Analisis
Sebagai komposisi karawitan Bali, Tabuh Kreasi Lemayung tetap menggunakan tiga konsep dasar yaitu konsep Tri Angga[4] (kepala, badan, dan kaki) Kepala dalam hal ini karawitan Bali disamakan dengan kawitan dalam bentuk gineman[5]. Tabuh kreasi Lemayung ini menggunakan model gineman dengan motif kalimat-kalimat lagu pendek yang dibawakan oleh masing-masing kelompok tungguhan yakni gangsa, reyong, kendang secara bergantian.  Disini pola tabuhan-nya sudah mulai keluar dari kebiasaan seperti terlihat pada pola kekendangan, pengrangrang trompong[6], dan gegenderan[7]. Yang dimaksudkan dengan keluar dari kebiasaan adalah, jalinan pola kekendangan-nya memakai hitungan ganjil, menggantung dan putus pada  tengah-tengah hitungan. Pola kekendangan ini bagi pengendang yang mempunyai ketrampilan dan pengalaman terbatas akan terasa sangat sulit.  Pengrangrang trompong memakai dua model patet dan di tengah-tengah permainan diselingi oleh permainan gangsa dan reyong yang permainan reyong-nya diluar kebiasaan yakni memainkan reyong secara berundag-undang atau model stratapikasi dari nada tinggi ke rendah bergulung gulung seperti ombak di pantai. Pada segmen kedua permainan gineman trompong berganti patet bernuansa slendro dan memasukan instrumen violin yang alunan melodinya terkesan sangat sedih dan menyayat hati. Melodi ini juga dirangkai dengan memadukan pukulan nyogcag oleh tungguhan kantil yang menggambarkan kesedihan masyrakat “cilik”. Pada pola gegenderan memakai kotekan tungguhan gangsa dengan pembagian lima hitung pada satu pukulan kajar yang bisanya atau lazimnya dalam satu ketukan, kotekan-nya dibagi menjadi empat sub divisi.  Selain gangsa, reyong turut bermain dengan pola yang tidak lazim pula yaitu disamping memakai pola hitungan lima, reyong dibunyikan dengan memukul dan menutup secara bersamaan sehingga menghasilkan suara enek atau suara yang tidak los.
            Selanjutnya dari bagian satu menuju kebagian dua dijembatani dengan sebuah kebyar[8] pendek sebagai pertanda pergantian struktur dari kawitan ke  bagian pengawak.  Bagian pengawak, tabuh ini bermain dalam pebedaan tempo dan hitungan pada tungguhan pembawa melodi dengan tungguhan garap yakni reyong dan gangsa. Dibentuk dengan kalimat lagu yang terdiri dari empat baris dalam satu gongan memakai patutan selisir. Setiap barisnya dilakukan penonjolan-penonjolan kolompok tungguhan secara bergantian. Perbedaan yang selaras ini mengasilkan harmoni  yang enak didengar dan dinamika yang dinamis  dengan penonjolan masing-masing kelompok tungguhan tadi. Permainan ini mengingatkan kita pada situasi pemilu yang masing –masing kelompak masyarakat saling berlomba mencari dukungan menonjolkan diri. Sehingga kelompok-kelompok masyarakat netral bingung dalam menentukan pilihan. Untuk mencari pengulangannya diselingi dengan satu kalimat lagu yang melodi dan ritmanya lebih lincah dan menggugah yang lazim disebut dengan pengelik. Bagian ini terjadi perpindahan patutan dari selisir ke patutan tembung. Pada tungguhan reyong dan gangsa dalam memainkan tabuhannya memanfaatkan nada-nada pemero untuk memperkaya ornamentasi dalam memainkan kotekan.  Bagian kedua ini diulangi dua kali putaran dan langsung menuju ke bagian ke tiga.
Bagian ke tiga yaitu bagian kaki atau dalam istilah karawitan Bali disebut dengan pengecet atau pekaad. Transisi ke bagian ini kembali dilakukan kebyar pendek dan dilanjutkan dengan kotekan gangsa sebelum benar-benar melakukan bagian pengecet. Pada bagian ini berbentuk gilak[9]  dengan bermacam-macam modulasi yang mendapat variasi tabuhan gangsa, reyong dan kendang yang dikombinasikan sedemikian rupa sehingga nampak suasana yang lebih bingar dan gembira.  Pola tabuhannya lebih lincah dan  bermain pada tempo yang lebih cepat. Selain dibentuk dengan  gilak, pengecet ini juga diselingan dengan pola gegenderan seperti yang terdapat dalam kawitan atau gineman, tetapi dalam patutan dan melodi yang berbeda. Kotekan dengan hitungan ganjil yaitu lima berbanding satu juga mewarnai pola gegenderan ini. Hitungan kontras, dan penonjolan masing-masing kelompok tungguhan seperti gangsa, reyong, dan kendang, terus menghiasi bagian ini. Sebelum menuju bagian akhir, rangkaian motif oncang-oncangan yang dikombinasikan dengan pola angsel[10] reyong dan kendang menghantarkan komposisi ini ke melodi penutup dengan mengutif satu kalimat lagu pada bagian kawitan.
5. kreativitas dan Pembaharuan
dalam berkreativitas untuk mewujudkan karya seni kreasi baru, yang menjadi kata kunci adalah dimanakah letak pembaharuan dalam karya seni tersebut? Dalam karya tabuh kreasi pepanggulan Lemayung ini dalam dilihat pembaharuannya antara lain:
1)      Penggunaan barungan gamelan Smarandhana. Sebelumnya tabuh-tabuh pepanggulan yang sejenis hanya menggunakan barungan gamelan Gong Kebyar dengan kaidah-kaidah kekebyarannya. Menggunakan barungan gamelan Smarandhana dengan “kekayaannya” memungkinkan untuk berkreativitas mengeksplorasi unsur-unsur musik yang yang melekat dalam gamelan tersebut.
2)      Masuknya instrumen musik barat yaitu violin. Dibutuhkan kejelian dan keberanian dalam penggunaan instrumen-instrumen non gamelan supaya kehadirannya pas dengan kebutuhan musikal dan tidak  terasa “menggangu”.
3)      Memakai sistem kotekan diluar kelaziman yaitu, dalam memainkan kotekan biasanya menggunakan pembagian atau sub divisi satu berbanding empat. Akan tetapi di sini digunakan sub divisi satu berbanding lima. Perbaduan genap dan ganjil disini dalam penggarapan dibutuhkan kejelian dan kreativitas yang tinggi, dan tentunya sebagai penyajinya dibutuhkan pemain-pemain gamelan yang trampil dan berpengalaman.
4)      Ritma, banyak ditemukan ritma-ritma baru baik berupa angsel-angsel yang dilakukan oleh reyong, ceng-ceng maupun kendang yang dipadukan dengan permainan gangsa yang memanfaatkan warna dan tinggi rendahnya nada.
5)      Kendang sebagai tungguhan yang penting dalam karawitan Bali banyak memainkan pola jalinan atau kekendangan diluar kebiasaan. Hal ini dibutuhkan kreativitas yang tinggi dalam mencipta dan ketrampilan yang yang tinggi dalam menyajikannya.
6. Notasi
            dalam mengnotasi reporatuar gamelan laras pelog tujuh nada kami menemukan kesulitan apabila terjadi modulasi ( perpindahan pathet di tengah tengah melodi) terkait dengan penggunaan huruf Bali sebagai simbul bunyi nada. Apalagi ditambah dengan tingkat kerumitan komposisi yang disajikan, sehingga  Pengnotasian karawitan Bali hanya bersifat deskripsi (notasi dengan pokok pokok nadanya saja) dan tidak bisa mewakili sebuah teks komposisi secara utuh. Pengnotasian seperti ini sering dan hanya berlaku untuk mencatat gending-gending lelambatan klasik yang pola garapnya sederhana. Dalam penggarapan musik-musik yang lain, notasi hanya digunakan oleh komposer untuk mengingat apa yang dibuatnya sebelum dituangkan kepada musisi. Hal ini lebih bersifat sketsa yang membutuhkan penggarapan lebih lanjut.
Dalam mengnotasi  tabuh lelambatan  pepanggulan Lemayung ini kami gunakan notasi karawitan Bali yang disebut dengan Notasi Ding-Dong dengan segala “keterbatasannya”. Dalam menganalisis gending memang dibutuhkan notasi untuk menunjukan keberadaan musik sebagai teks visualisasi. Namun karena keterbatasan waktu dan kemampuan, Pencatatan ini hanya untuk mengetahui struktur dan bentuk dari komposisinya saja, dan tentu  tidak mewakili teks reportuar secara keseluruhan. Dalam penulisan patutan, nada pertama dalam urutan tiga nada adalah nada ding dengan simbul 3 , seperti terlihat dalam tabel.
Patutan
Urutan nada
1
2
3
4
5
6
7
P. Lebeng
3
4
5
6
7
1
2
P. Selisir
3
4
5
-
7
1
-
P. tembung
7
1
_
3
4
5
_
P. Sunaren
_
7
1
_
3
4
5
P. Baro
1
_
3
4
5
_
7

            Notasi Tabuh Pepanggulan Lemayung.
Kawitan
Gangsa + Reyong
j17  j171
j1j73 1     j13 j713    j17                    j13 j71 j.1 j.1 3
j13 j.1 3 7 j57  j.1 3 j.1 3  7 5 ...     j.7 5
j55 j75 j43 1  j55 j45 j71 j71 j75 j45 g3
jalinan kekendangan
gangsa patutan tembung
7  1 7 1 5 7 5 3 1... 7 5 ......7 1 7 1 j34 j53 4 3 1 /5 5 3 =4  5 4 5 j65 j43 2 2 3 4 j75 3 2  j71 3 5  j31 5 7 j217 3 5 7 j54 g3
pengrangrang trompong
43...... 3 . ...3....3…3 333 4 5 6 5 6 4 5 6 5 6 . . .j757. . .5
5....5....            5.... 5.. 5..5. 5...j.4 3....3....3....3..3
3..3.3....5  7  5            7 5 757575 j77... j.7 5
reyong
j.7  j15 j75 j43 1      j75 j43 j17 j31 j75 j17 j54 j75 j43 j54 j31 j75
j75 j43 j17 j31 j75 j17 j54 j75 j43 j54 j31 j75
trompong
j.75....5....5....5.... j757...5...7...5..7..5..7.5.j757
....j757...n5
gangsa
7./77 /7 71 j.3 4     j34 j34 j13 4          j34 j31 /3   j45  j1 3  j17 j13 j17 j1 g3...
trompong
j.31 4 3
kelompok gangsa
3 4 3 4 j72 j75 j71 3 4 3  j13 j157 j12  j717  34   71 j24 j217 5 1 37 j345 1 7 5 g4
kebyar
 /j44 j34 j53 4 j11 j43 j13 j71 j31 7           j66 j45 j34 5          j66 j34 j53 4. . . .
p. Baro
7....5...j.7 j13 j431 7. . . .3 . 5 j354. . . j45 j4317 g1
Biola
1  3 4 5 7 1 n5...   7 4 5 3 1 4 n5... 7 1 4 3   5 7 .5 4 3    1 7 . j54 5 74.. 34 . 34 . j71 j34 5 .  4 .g3
trompong
7 1 3 4 3 1 3 j.77713 . 5 j35 4
kebyar
4 5  . 3 /3 3   /j5j53 5  j73 j.7  j.3 j457   1 /j175 7  . 3 /4 j43 1 3
7 3 7 1  . 3 j33 3  j5j53 5 j531  j5 j7 15  j71 j5 7 4 57
gegenderan
 [..131. 57 . 134 . 31 . 7 . 57457. 3.41. 57]
 [...157...157...157...157]
kebyar
7 . 1 3 7 1 3 4 .  7 5 7 5 4 3 1 j713  j13 j17 j17 j54 3  5  3 7 5   5 3 j537
1 7 3 1 7 4 . j57 j17 g5
pengawak/bagian ke II
1  7   5   .   1  7   7 1  . . .7  1  7  5   7 j45 j31 7
   . . 4574 ..7.13.  45 .  1745   6456  .  4  .   g3
pengelik (patutan tembung)
.j.3  .1  . j. 5 .7. j.4 .5 j.3 .7 1 .. 3 j45  j.7 j.4  3 . j61 j.7  5 . g3
Kebyar ke Bagian III(Pengecet)patutan selisir
g3.. j141  j.1  j515. j.7 j45 g7
Gilak pemalpal
[1 3 1 7 1 3 7 1 7 5 45 7 5 4 5 g7]
                        <          6713.1.7
gegenderan (patutan Tembung)
[. 1 . 3 1 . 5 7 . 1. 3 4 . 3 1 . 7 . 5 7 4 5 7 . 5 . 4 1 . 5 g7]
patutan baro
[7571. 34134. 7171571. 75175]
3 1 /1 1 3 .4 3 /3 3 4. 3.4. 1 3 1 7 5
7. .7. . .777. . . .12 43
[1 7 2 1  j75 j.57  j17 j671 7 j46 j.43 35 j64 j34 6 4 3  j64 6 j46 4 5 3 1 7]
[7 1 3 1 7 5 7 616417]
j17 j17 g1
Keterangan tanda:
3 = ding, 4 = dong, 5 = deng, 6 = deung, 7 = dung, 1 = dang,
2 = daing
[] tanda pengulangan
g     = jatuhnya pukulan gong
< transisi


DAFTAR ACUAN

Tenzer, Michael. 2000. Gamelan Gong Kebyar : Seni Musik Bali Abad ke- Duapuluh.
Diterjemahkan oleh Janet & Joko Purwanto. Universitas Of Chicago. Edisi
 Spesial : Masyrakat Seni Pertunjukan Indonesia

Sukerta, Pande made. 2009. Ensiklopedi Karawitan Bali . Edisi kedua. Solo : ISI
            Press



[1] Perkumpulan atau organisasi, terutama yang berpusat di banjar-banjar diaman keanggotaannya bersifat sukarela
[2] Patutan selendro gede untuk menunjukan nuansa gender wayang (gamelan untuk musik wayang berlaras slendro lima nada) dan ada dua lagi masing-masing dengan empat nada yaitu selendro alit ( 3457) untuk menunjukan interval selendro dalam wilayah nada tinggi dalam gamelan angklung dan satu lagi jegog (2357), karena menimbulkan skala unik untuk menunjukan nuansa gamelan jegog (gamelan yang terbuat dari bambu berkembang di daerah Bali barat).
[3] Nama sanggar seni/grup kesenian yang sangat unggul dan menggunakan gamelan Smarandhana sebagai media untuk membawakan materi pementasannya.
[4] Tiga bagian tubuh manusia yaitu kepala, badan, kaki. Dalam  konsep struktur komposisi karawitan Bali, tiga bagian tubuh manusia tersebut dapat di disejajarkan dengan kawitan, pengawak, dan pengecet/pekaad,atau  bagian satu, dua dan tiga (awal, tengan, dan akhir)
[5] Sebagai sebuah bentuk introdaksi dari sebuah komposisi.
[6] Pola permainan melodi yang temponya tidak ajeg  dilakukan oleh trompong diikuti oleh suling, rebab, dan jegog memberikan aksentuasi.
[7] nama dari salah satu bagian bentuk gending menyajikan rangkaian melodi yang dibawakan oleh tungguhan jublag, jegog, suling dan rebab. Tungguhan gangsa, kantil dan reyong memberikan variasi kotekan. Bagian ini dalam tabuh kreasi kekebyaran dipakai sebagai wadah untuk menunjukan kemampuan komposer dalam menyusun melodi dan membuat variasi kotekan serta penabuh dalam menunjukan teknih tabuhan-nya.
[8] Pola tabuhan secara bersama-sama dan serentak,   menghentak dengan tiba-tiba, tanpa menggunakan hitungan. Dilakukan oleh hampir seluruh tungguhan yang ada kecuali suling, rebab, kenong, kempur dan trompong.
[9] Rangkaian melodi yang terdiri dari delapan ketukan dalam satu gongan. Tungguhan pesu-mulih yaitu kempur terletak pada hitungan ke lima dan ke tujuh, kempli terletak pada hitungan  ke dua, empat, enam,dan ke delapan.
[10] Pola tabuhan  dengan hentakan-hentakan ritma dengan artikulasi  yang kuat, ditandai dan dikoordinasikan oleh kendang dilakukan bersama-sama dengan reyong dan ceng-ceng.

No comments:

Post a Comment